Memperkokoh AMAN Kabupaten Sintang

Komunikasi, Pertemuan dan Program Yang Baik Kunci Kuatnya Organisasi

Ketua BPH AMAN Kalbar, Ketua Dewan AMAN Sintang, Ketua Dewan AMAN Sintang
Ketua BPH AMAN Kalbar, Ketua Dewan AMAN Sintang, Ketua Dewan AMAN Sintang

Sintang 24/10/2016― Untuk memperkuat Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kabupaten Sintang, maka Pengurus AMAN Kalimantan Barat dan AMAN Sintang melakukan pertemuan, dengan menyusun program-program bersama ke depannya. Turut hadir Stefanus Masiun, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN Kalbar. Antonius Antong, Ketua BPH AMAN Sintang. K. Daniel Banai Ketua Dewan AMAN dan Anggota Komisi C DPRD Kabupaten Sintang bertempat di Sekretariat Dewan AMAN Kabupaten Sintang pada 28/9/2016.

Stefanus Masiun mengatakan pertemuan seperti ini sangat penting untuk membangun kekuatan organisasi, komunikasi dan diskusi antar organ organisasi, karena merupakan langkah terdepan dalam memperkuat jaringan antar pengurus hingga ke komunitas-komunitas. Terpilihnya Antonius Antong sebagai Ketua BPH AMAN Kabupaten Sintang diharapkan dapat bekerjasama dengan Pengurus AMAN Kalbar sehingga isu-isu, konflik dan masalah-masalah maupun adat dan budaya khususnya di komunitas-komunitas se-Kabupaten Sintang dapat dicari solusi bersama,” ungkapnya.

Telah adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan terhadap Hak-Hak Masyarakat Adat sesuai mandat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 Tahun 2012. Maka AMAN saat ini sedang mendorong Perda Pengakuan Hukum Masyarakat Adat Kabupaten Sintang. Setelah adanya dukungan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Sintang pada pertemuan di Pendopo Bupati pada 27/9/2016, rombongan AMAN bersama masyarakat disambut langsung oleh Bupati Sintang.

“Bupati memberikan jaminan akan adanya Perda Pengakuan Hukum Masyarakat Adat Kabupaten Sintang”.

“Oleh sebab itu penting AMAN Kalbar dan AMAN Sintang terus bekerjasama untuk terus mendorong terealisasinya Perda tersebut” tegas Stefanus.

Daniel Banai memaparkan mendorong kebijakan pemerintah seperti Perda untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat perlu kerja keras, perjuangan, pemahaman dan kekuatan yang harus dibangun. Proses yang dihadapi sangat panjang, rintangan di Eksekutif dan Legislatif lebih banyak kontra ketimbang pro. “Belajar dari mendorong Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan tehadap Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Sintang memerlukan waktu bertahun-tahun,” paparnya.

Membangun kekuatan di komunitas-komunitas adalah kunci utama untuk memperkuat dorongan kepada pemangku kebijakan, karena Dewan AMAN akan semakin kokoh mendorong di Legislatif ketika kebijakan tersebut memang diinginkan masyarakat. “Saat ini Dewan AMAN akan mendirikan Rumah Budaya di Komunitas Adat Kenyabur, Kecamatan Tempunak, dengan harapan tidak pudarnya identitas masyarakat adatnya,” tambah Daniel.

Antonius Antong Ketua terpilih menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas kepercayaan dan dukungan seluruh masyarakat adat Kabupaten sintang, Dewan AMAN Sintang dan AMAN Kalbar telah mempercayakan dirinya menjadi motor penggerak AMAN Sintang. Beberapa program yang telah disiapkan adalah mengawali Perda tentang Hukum Masyarakat Adat, melengkapi pengurus AMAN sintang, dan mengkampanyekannya lewat media menstrim seperti cetak, radio dan televisi. Sedangkan untuk media sosial akan memprioritaskan pengelolaan website Pengurus Daerah AMAN Sintang,” jelasnya.

AMAN Kabupaten Sintang akan membangun kekuatan organisasi sayap seperti Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN), Perempuan AMAN dan Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Ketiga organ ini sangat penting untuk memperkokoh AMAN Sintang. “Saat ini AMAN Sintang sedang mempersiapkan Sekretariat sehingga semua pengurus AMAN dan Organisasi Sayap memiliki rumah bersama untuk berdiskusi dan menangani masalah-masalah yang ada di masyarakat adat,” papar Antonius. *** Paulus Ade Sukma Yadi.

 

Pentingnya Keterbukaan Informasi Bagi Publik

Tata Kelola Perizinan Industri Berbasis Hutan dan Lahan Bagi Masyarakat Adat

zzzzz
Para Narasumber

Pontianak 18/10/2016 ‒ Sulitnya mengakses informasi menjadi kendala bagi masyarakat adat dalam mengawasi pelaksanaan perizinan usaha perkebunan. Oleh karena itu Jaringan Anti Korupsi (JARI) Borneo Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) menggelar Workshop dengan tema “Menegaskan Implementasi Keterbukaan Informasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan” bertempat di Hotel Orchadz 30/9/2016.

Chatarina Pancer Istiyani, Ketua Komisi Informasi Kalbar menyampaikan lembaga mereka berperan mendorong keterbukaan akses informasi dalam proses penegakan hukum dan konflik pemanfaatan hutan dan lahan. Selama ini masyarakat sering diabaikan haknya dalam memperoleh keterbukaan informasi, badan publik biasanya sulit bahkan tidak memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat. “Oleh karena itu Komisi Informasi siap  untuk membantu bila ada hal-hal yang  dipersulit oleh BPKH dalam memperoleh informasi,” paparnya.

“Sedangkan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 Pasal 4 tentang Keterbukaan Informasi Publik menerangkan bahwa, hak pemohon informasi publik yaitu memeroleh informasi publik, baik dengan melihat, mengetahui, maupun mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonanan informasi,” tambah Chatarina.

Depriadi, Biro Mitra Jaringan dan Penanganan Kasus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar menjelaskan pada 19 Mei 2014 yang lalu AMAN Kalbar pernah menyampaikan surat permohonan informasi Berita Acara Tata Batas Temu Gelang Penetapan Kawasan Hutan di Kalbar kepada BPKH Wilayah III Pontianak, untuk mengetahui bagimana hukum mendefinisikan wilayah-wilayah adat yang ada di Kalbar. “Namun sampai hari ini tidak ada konfirmasi baik secara tertulis maupun secara langsung yang disampaikan oleh pihak BPKH kepada AMAN kalbar,” jelasnya.

Melihat realita di atas maka AMAN Kalbar akan kembali menyurati BPKH untuk merespon surat yang pernah disampaikan oleh AMAN Kalbar, karena hingga saat ini negara belum mengakui keberadaan masyarakat adat, bahwa mereka sebagai pemilik hak atas wilayah dan hutan adatnya. “Sehingga mereka sering mengalami intimidasi dan kriminalisasi dalam mempertahankan hak-haknya, seharusnya keterbukaan informasi sangat diperlukan, sehingga apa pun yang terjadi dengan masyarakat adat dapat diketahui publik,” ungkap Depriadi. **** Paulus Ade Sukma Yadi.

AMAN Kalbar dan Pemda Sintang Akan Bahas TKHL

Tumpang Tindih Izin Perusahaan Berdampak Konflik Di Lapangan

dscn9661
Ketua Dewan AMAN Sintang, Ketua BPH AMAN Sintang dan Pengurus AMAN Kalbar

Sintang 21/9/2016  ̶  Banyaknya tumpang tindih perizinan perkebunan berdampak pada konflik antara masyarakat adat dan pihak perusahaan. Untuk menjalankan mandat dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Sintang yang telah disahkan pada tahun 2015 lalu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar) akan menggelar pertemuan diskusi dengan dr. H. Jarot Winarno, M. Med. PH selaku Bupati periode 2016-2021 tentang Tata Kelola Hutan dan Lahan (TKHL) Kecamatan Tempunak. Diskusi direncanakan pada tanggal 27, 28 atau 29/9/2016.

Diskusi tersebut akan dihadiri Pengurus AMAN Kalbar, Pengurus AMAN dan Dewan AMAN Sintang, Dinas-dinas terkait, perwakilan pengurus adat Desa Jaya Mentari, Pangkal Baru, Benua Baru, Pulau Jaya, Kuala Tiga, Kupan Jaya, Sungai Buluh, Gurung Mali dimana daerah tersebut semuanya berada di Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Diskusi akan dihadiri Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sintang.

Depriadi, Biro Mitra Jaringan dan Penanganan Kasus AMAN Kalbar memaparkan AMAN Kalbar akan memastikan yang mana wilayah hutan adat. Mengacu pada Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang telah diajukan sejak tahun 2009 dimana hutan adat adalah milik masyarakat adat bukan lagi hutan negara. “AMAN Kalbar berkomitmen akan terus mengawali Perda demi kepentingan masyarakat adat di daerah-daerah khususnya Sintang,” paparnya.

Antonius Antong, Ketua Pengurus Daerah AMAN Kabupaten Sintang menyampaikan terkait rencana diskusi TKHL beberapa wilayah hutan telah dipetakan khususnya Kampung Ansok (Benua Kencana), Gurung Mali dan Bekulai masuk Hutan Produksi Terbatas (HPT) yaitu program sarana air bersih dari pemerintah berdasarkan data Bappeda. “Bukit Sarang dan Pujau masuk hutan lindung dan produksi, sementara masyarakat adat belum mengetahuinya karena belum adanya sosialisasi dan dipublikasikan kepada mereka akan wilayah-wilayah tersebut,” jelasnya.

Daniel Banai, Anggota Komisi C DPRD dan Ketua Dewan AMAN Kabupaten Sintang mengatakan selama ini selalu terlibat dalam membahas pendapatan daerah, kesejahteraan rakyat sesuai tugasnya dari Anggota Komisi C khususnya infrastruktur jalan, jembatan, pendidikan, dan listrik. “Beberapa kali dalam pertemuan terkait perkebunan monokultur bersama Dinas Kehutanan dan Perkebunan, masih banyak terjadi kerusakan hutan masyarakat adat akibat perusahaan, Dinas dan Badan terkait memiliki semua data dan mengetahui kerusakan di wilayah-wilayah hutan adat” paparnya.

Selama ini rapat kerja yang selalu menjadi catatan bagaimana prosedur pemberian izin perkebunan. Mulai dari tahap informasi lahan, selama ini informasi lahan disampaikan kepada masyarakat tidak selektif. Salah satu contoh yang terjadi di Bukit Saran menimbulkan pro dan kontra luar biasa, perjuangan membela hak-hak masyarakat adat masih dibenturkan dengan berbagai persepsi sehingga membuat mereka berbeda pemahaman. Informasi izin lahan Kecamatan Tempunak Hulu langsung diberikan oleh pengurus desa, sementara masyarakat adat tidak mengetahuinya. Perusahaan merekrut oknum-oknum yang berpengaruh di daerah tersebut dengan alasan numpang camp. Sedangkan aturannya tidak boleh ada camp perusahaan di daerah masyarakat adat. “Seperti terjadi di Kupan Jaya dan Benua Baru, sementara Pemda Sintang belum memberikan solusi,” ungkap Daniel.

Perda Kabupaten Sintang tidak pernah dipublikasikan kepada Publik, seharusnya disampaikan melalui media cetak dan online, seperti Perda Kalimantan Utara dsehingga publik mengetahui proses dan fungsi Perda. Karena Mandat Putusan MK 35 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, hutan yang berada di wilayah masyarakat adat adalah milik masyarakat adat dan milik Komunitas bukan milik pribadi, tidak dapat diganggu gugat oleh pihak luar apalagi perusahaan dan bukan milik desa. Hutan tersebut milik Komunal dapat dimanfaatkan sesuai kearifan lokal. Hutan adat yang terdapat di wilayah mereka terdapat pemukiman, tempat berladang, tempat mencari sayur, hewan-hewan untuk dikonsumsi memenuhi kebutuhan hidup, kuburan tua, gupung, temawai, tempat ritual dan sumber mata air. Hutan masyarakat adat bukan hanya memiliki pohon-pohon besar tetapi tempat hidup dan berladang. Hutan adat dapat diakui oleh pemerintah jika memiliki peta partisipatif disertai  legalitas dari Kepala Desa dan Camat setempat. “Sehingga adapat diserahkan kepada pemerintah dan DPRD sebagai eksekutor pembangunan,” jelas Daniel **** Paulus Ade Sukma Yadi.

AMAN Kalbar Desak Perda MA Sekadau

DPRD, Pemda Sekadau dan AMAN Kalbar Rancang Perda Perlindungan MA

14424705_1088008364568764_3749227864696706950_o
Para Narasumber dan Peserta Diskusi Kabupaten Sekadau

Sekadau 9/9/2016 ‒ Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kalimantan Barat (Kalbar) mendesak adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Sekadau segera disahkan tahun 2017. Belum adanya Perda berdampak pada banyaknya perampasan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Sekadau. Hal ini disampaikan S. Masiun, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN KAlbar dalam pertemuan pembahasan tentang Tata Kelola Hutan dan Lahan (TKHL) di Ruang Rapat Wakil Bupati Sekadau, Kamis 8/9/2015.

Pertemuan dihadiri Aloysius, Wakil Bupati Sekadau. Drs. Heronimus, Staff Ahli. Adrianto  Asisten Pemerintahan dan Hukum. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Drs. Sandai M.Si, Kepala Dinas Pertanian Sabas, Kepala Badan Pertanahan nasional (BPN). Yustinus, Kepala Badan Lingkungan Hidup serta Humas, Ketua BPH AMAN Kalbar bersama masyarakat adat Kampung Cenayan, Tamang dan Sebabas.

Obeng, Ketua Adat Desa Cenayan menjelaskan berbagai upaya masyarakat adat Cenayan dalam mengelola wilayah adat telah dilakukan seperti pemetaan partisipatif pada tahun 2000. Tahun 2004  larangan menebang di kawasan hutan, durian, tengkawang, larangan menuba sungai, sudah dilakukan. Tetapi hingga saat ini belum ada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dari pemerintah. “Banyak perusahaan masuk dikawasan masyarakat adat tanpa sosialisasi, Hal ini meresahkan masyarakat karena dikhawatirkan memicu terjadinya intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” ungkapnya.

Drs. Sandai M.Si menyampaikan sebanyak 94 titik, masuk kawasan hutan seluas 18.400 hektar dengan 17.000 KK (32.000) jiwa. Kawasan hutan adalah gudang kemiskinan, pemerintah daerah tidak dapat membantu masyarakat karena mereka berada di kawasan hutan. Desa Sebabas Kecamatan Nanga Mahap masuk kawasan hutan lindung. Masyarakat adat yang berada dalam kawasan hutan tidak perlu membayar PBB. Namun faktanya masyarakat adat Sebabas berada di kawasan hutan, berdasarkan peta Pancur Kasih dan mereka tetap harus bayar PBB. Oleh karena peta yang dibuat masyarakat tersebut dapat di-overlay-kan dengan yang ada di Hutbun. Pembangunan gedung sekolah, jalan dan lain-lain tidak dapat dilakukan. Karena harus dilakukan ijin pinjam pakai dan membutuhkan waktu yang lama,” jelasnya.

Perusahaan kelapa sawit yang di Cenayan dan Tamang ijinnya dikeluarkan oleh Bupati Sanggau, ketika Sekadau masih merupakan wilayah kabupaten Sanggau. Bupati Sekadau dalam 5 tahun ini tidak akan mengeluarkan ijin kepala sawit baru apalagi saat ini Presiden Jokowi telah mengumumkan moratorium ijin sawit. “Saat ini ada 24 perusahaan di Kabupaten Sekadau yang aktif berjumlah 18 perusahaan,” papar Sandai.

Ijin HTI seluas 300.000 untuk PT. Finantara Intiga dibeli oleh Sinar Mas melalui SK Menhut nomor 750/1996 dan belum pernah dilakukan penataan batas kawasan. Seharusnya setelah 2 tahun ijin keluar, tata batas HTI dan batas-batas tanah masyarakat dilakukan. Seluas 44.000 hektar APL berada dalam kawasan HTI Finantara. Redistribusi tanah seluas 1.000 persil atau 2.000 hektar diprogramkan oleh Pemerintah Sekadau dengan melepaskan kawasan hutan, pembuatan sertifikatnya sudah dapat diajukan. “Seharusnya 91 titik hutan milik masyarakat adat diproses menjadi hutan adat dan menjadi tugas pemerintah propinsi berdasarkan UU N0. 23 Tahun 2015,” tambah Sandai.

S. Masiun menekankan penguatan hak-hak masyarakat adat sangat penting khususnya dalam konteks perlindungan wilayah adat. Desa Cenayan dan Tamang masih mengelola wilayah adatnya dengan baik walaupun sebagian kecil sudah dimasuki oleh perkebunan sawit. AMAN Kalbar bersama masyarakat adat ingin mengetahui kebijakan pengelolaan hutan dan lahan Sekadau secara khusus yang berkenaan dengan wilayah Cenayan, Tamang dan Sebabas. “Berlandaskan hasil Rapat Terbatas Presiden dan Wakil Presiden tanggal 24 Agustus 2016 tentang Reforma Agraria (RA), Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA),” paparnya.

Tumpang tindih ijin kelapa sawit seperti di desa Boti, Mondi dan Sungai Sambang belum ada solusi dari pemerintah. Sehingga wilayah kelola masyarakat menjadi semakin sempit dan rawan menimbulkan konflik. AMAN Kalbar menilai Perda Sekadau sangat penting dibentuk dan disahkan sesuai mandat UUD 1945 pasal 18 B, pasal 28 I, Permen LHK N0. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak, yang mengatur tentang pengakuan hutan adat, Permen ATR/Ketua BPN N0. 10/2016 yang hak komunal. Bahwa hutan, tanah, dan sumberdaya alam yang ada dalam wilayah masyarakat adat adalah sumber kehidupan mereka baik generasi sekarang maupun mendatang. Karena itu keberadaannya harus tetap dijaga dan dilindungi. “AMAN Kalbar sedang mengawal Raperda Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kalbar, diharapkan akhir 2016 dapat disahkan, dan ditingkat nasional RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA menjadi UU penting untuk disahkan. AMAN berkomitmen terus mengawali proses pengesahannya,” jelas Masiun **** Paulus Ade Sukma Yadi.