Pentingnya Keterbukaan Informasi Bagi Publik

Tata Kelola Perizinan Industri Berbasis Hutan dan Lahan Bagi Masyarakat Adat

zzzzz
Para Narasumber

Pontianak 18/10/2016 ‒ Sulitnya mengakses informasi menjadi kendala bagi masyarakat adat dalam mengawasi pelaksanaan perizinan usaha perkebunan. Oleh karena itu Jaringan Anti Korupsi (JARI) Borneo Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) menggelar Workshop dengan tema “Menegaskan Implementasi Keterbukaan Informasi dalam Tata Kelola Hutan dan Lahan” bertempat di Hotel Orchadz 30/9/2016.

Chatarina Pancer Istiyani, Ketua Komisi Informasi Kalbar menyampaikan lembaga mereka berperan mendorong keterbukaan akses informasi dalam proses penegakan hukum dan konflik pemanfaatan hutan dan lahan. Selama ini masyarakat sering diabaikan haknya dalam memperoleh keterbukaan informasi, badan publik biasanya sulit bahkan tidak memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat. “Oleh karena itu Komisi Informasi siap  untuk membantu bila ada hal-hal yang  dipersulit oleh BPKH dalam memperoleh informasi,” paparnya.

“Sedangkan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 Pasal 4 tentang Keterbukaan Informasi Publik menerangkan bahwa, hak pemohon informasi publik yaitu memeroleh informasi publik, baik dengan melihat, mengetahui, maupun mendapatkan salinan informasi publik melalui permohonanan informasi,” tambah Chatarina.

Depriadi, Biro Mitra Jaringan dan Penanganan Kasus Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar menjelaskan pada 19 Mei 2014 yang lalu AMAN Kalbar pernah menyampaikan surat permohonan informasi Berita Acara Tata Batas Temu Gelang Penetapan Kawasan Hutan di Kalbar kepada BPKH Wilayah III Pontianak, untuk mengetahui bagimana hukum mendefinisikan wilayah-wilayah adat yang ada di Kalbar. “Namun sampai hari ini tidak ada konfirmasi baik secara tertulis maupun secara langsung yang disampaikan oleh pihak BPKH kepada AMAN kalbar,” jelasnya.

Melihat realita di atas maka AMAN Kalbar akan kembali menyurati BPKH untuk merespon surat yang pernah disampaikan oleh AMAN Kalbar, karena hingga saat ini negara belum mengakui keberadaan masyarakat adat, bahwa mereka sebagai pemilik hak atas wilayah dan hutan adatnya. “Sehingga mereka sering mengalami intimidasi dan kriminalisasi dalam mempertahankan hak-haknya, seharusnya keterbukaan informasi sangat diperlukan, sehingga apa pun yang terjadi dengan masyarakat adat dapat diketahui publik,” ungkap Depriadi. **** Paulus Ade Sukma Yadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *