AMAN Kalbar Desak Perda MA Sekadau

DPRD, Pemda Sekadau dan AMAN Kalbar Rancang Perda Perlindungan MA

14424705_1088008364568764_3749227864696706950_o
Para Narasumber dan Peserta Diskusi Kabupaten Sekadau

Sekadau 9/9/2016 ‒ Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kalimantan Barat (Kalbar) mendesak adanya Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Sekadau segera disahkan tahun 2017. Belum adanya Perda berdampak pada banyaknya perampasan hak-hak masyarakat adat di Kabupaten Sekadau. Hal ini disampaikan S. Masiun, Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) AMAN KAlbar dalam pertemuan pembahasan tentang Tata Kelola Hutan dan Lahan (TKHL) di Ruang Rapat Wakil Bupati Sekadau, Kamis 8/9/2015.

Pertemuan dihadiri Aloysius, Wakil Bupati Sekadau. Drs. Heronimus, Staff Ahli. Adrianto  Asisten Pemerintahan dan Hukum. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Drs. Sandai M.Si, Kepala Dinas Pertanian Sabas, Kepala Badan Pertanahan nasional (BPN). Yustinus, Kepala Badan Lingkungan Hidup serta Humas, Ketua BPH AMAN Kalbar bersama masyarakat adat Kampung Cenayan, Tamang dan Sebabas.

Obeng, Ketua Adat Desa Cenayan menjelaskan berbagai upaya masyarakat adat Cenayan dalam mengelola wilayah adat telah dilakukan seperti pemetaan partisipatif pada tahun 2000. Tahun 2004  larangan menebang di kawasan hutan, durian, tengkawang, larangan menuba sungai, sudah dilakukan. Tetapi hingga saat ini belum ada pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat dari pemerintah. “Banyak perusahaan masuk dikawasan masyarakat adat tanpa sosialisasi, Hal ini meresahkan masyarakat karena dikhawatirkan memicu terjadinya intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat,” ungkapnya.

Drs. Sandai M.Si menyampaikan sebanyak 94 titik, masuk kawasan hutan seluas 18.400 hektar dengan 17.000 KK (32.000) jiwa. Kawasan hutan adalah gudang kemiskinan, pemerintah daerah tidak dapat membantu masyarakat karena mereka berada di kawasan hutan. Desa Sebabas Kecamatan Nanga Mahap masuk kawasan hutan lindung. Masyarakat adat yang berada dalam kawasan hutan tidak perlu membayar PBB. Namun faktanya masyarakat adat Sebabas berada di kawasan hutan, berdasarkan peta Pancur Kasih dan mereka tetap harus bayar PBB. Oleh karena peta yang dibuat masyarakat tersebut dapat di-overlay-kan dengan yang ada di Hutbun. Pembangunan gedung sekolah, jalan dan lain-lain tidak dapat dilakukan. Karena harus dilakukan ijin pinjam pakai dan membutuhkan waktu yang lama,” jelasnya.

Perusahaan kelapa sawit yang di Cenayan dan Tamang ijinnya dikeluarkan oleh Bupati Sanggau, ketika Sekadau masih merupakan wilayah kabupaten Sanggau. Bupati Sekadau dalam 5 tahun ini tidak akan mengeluarkan ijin kepala sawit baru apalagi saat ini Presiden Jokowi telah mengumumkan moratorium ijin sawit. “Saat ini ada 24 perusahaan di Kabupaten Sekadau yang aktif berjumlah 18 perusahaan,” papar Sandai.

Ijin HTI seluas 300.000 untuk PT. Finantara Intiga dibeli oleh Sinar Mas melalui SK Menhut nomor 750/1996 dan belum pernah dilakukan penataan batas kawasan. Seharusnya setelah 2 tahun ijin keluar, tata batas HTI dan batas-batas tanah masyarakat dilakukan. Seluas 44.000 hektar APL berada dalam kawasan HTI Finantara. Redistribusi tanah seluas 1.000 persil atau 2.000 hektar diprogramkan oleh Pemerintah Sekadau dengan melepaskan kawasan hutan, pembuatan sertifikatnya sudah dapat diajukan. “Seharusnya 91 titik hutan milik masyarakat adat diproses menjadi hutan adat dan menjadi tugas pemerintah propinsi berdasarkan UU N0. 23 Tahun 2015,” tambah Sandai.

S. Masiun menekankan penguatan hak-hak masyarakat adat sangat penting khususnya dalam konteks perlindungan wilayah adat. Desa Cenayan dan Tamang masih mengelola wilayah adatnya dengan baik walaupun sebagian kecil sudah dimasuki oleh perkebunan sawit. AMAN Kalbar bersama masyarakat adat ingin mengetahui kebijakan pengelolaan hutan dan lahan Sekadau secara khusus yang berkenaan dengan wilayah Cenayan, Tamang dan Sebabas. “Berlandaskan hasil Rapat Terbatas Presiden dan Wakil Presiden tanggal 24 Agustus 2016 tentang Reforma Agraria (RA), Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA),” paparnya.

Tumpang tindih ijin kelapa sawit seperti di desa Boti, Mondi dan Sungai Sambang belum ada solusi dari pemerintah. Sehingga wilayah kelola masyarakat menjadi semakin sempit dan rawan menimbulkan konflik. AMAN Kalbar menilai Perda Sekadau sangat penting dibentuk dan disahkan sesuai mandat UUD 1945 pasal 18 B, pasal 28 I, Permen LHK N0. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak, yang mengatur tentang pengakuan hutan adat, Permen ATR/Ketua BPN N0. 10/2016 yang hak komunal. Bahwa hutan, tanah, dan sumberdaya alam yang ada dalam wilayah masyarakat adat adalah sumber kehidupan mereka baik generasi sekarang maupun mendatang. Karena itu keberadaannya harus tetap dijaga dan dilindungi. “AMAN Kalbar sedang mengawal Raperda Masyarakat Hukum Adat (MHA) Kalbar, diharapkan akhir 2016 dapat disahkan, dan ditingkat nasional RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan MHA menjadi UU penting untuk disahkan. AMAN berkomitmen terus mengawali proses pengesahannya,” jelas Masiun **** Paulus Ade Sukma Yadi.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *