Video Proses Menguliti Pohon Kepuak, Sebagai Bahan Kerajinan Tangan

Dua orang wanita yang mengambil kulit pohon yang dalam bahasa masyarakat Adat Dayak Seberuang menyebutnya Pohon Kepuak di Desa Jaya Mentari, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kamis (6/4/2017).

Pohon ini dapat menghasilkan berbagai macam karya seni yang digunakan masyarakat.

Mulai dari baju, tali ayunan keperluan berladang, topi, dompet, tas, selimut dan lain sebagainya.

Suasana Kegiatan Konsolidasi Pengakuan Hutan Adat AMAN Kalbar

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalbar menggelar Konsolidasi Inisiator dan Mitra Strategis di Hotel Orchardz Pontianak, Jalan Perdana, Rabu (7/6/2017).

Kegiatan ini mengangkat tema “Pertemuan Nasional Percepatan Pengakuan Hutan Adat 2017”. Kegiatan digelar mulai Selasa (6/6/2017) hingga Jumat (9/6/2017).

Hadir dalam pertemuan AMAN Kaltim, AMAN Kaltara, JKMA Aceh, PB AMAN, Perkumpulan Huma, PD AMAN Mentawai, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Kantor Staf Presiden, Walhi Kalbar, Perkumpulan Sampan, Jari dan Lembaga Bela Banua Talino.

 

Video Proses Menguliti Pohon Kepuak, Sebagai Bahan Kerajinan Tangan

video

Dua orang wanita yang mengambil kulit pohon yang dalam bahasa masyarakat Adat Dayak Seberuang menyebutnya Pohon Kepuak di Desa Jaya Mentari, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kamis (6/4/2017).

Pohon ini dapat menghasilkan berbagai macam karya seni yang digunakan masyarakat.

Mulai dari baju, tali ayunan keperluan berladang, topi, dompet, tas, selimut dan lain sebagainya.

Kunjungan AMAN Kalimantan Barat Ke PLTMH Desa Jaya Mentari

Kunjungan AMAN Kalimantan Barat Ke PLTMH Desa Jaya Mentari

Sejumlah warga bersama AMAN Kalbar dan media massa melihat Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLMTH) Cahaya Bersama di Desa Jaya Mentari, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang, Kamis (6/4/2017).

Desa Jaya Mentari memiliki 6 dusun yang telah dialiri listrik selama 24 jam tanpa adanya pemadaman bergilir.

Listrik ini berasal dari keberadaan 5 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang telah mengubah hidup masyarakat.

Dari lima unit PLTMH, hanya satu unit saja yang merupakan bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sintang. Empat lainnya hasil swadaya masyarakat dengan memanfaatkan lembaga keuangan koperasi Credit Union (CU).

Tak hanya menjadi tenaga PLTMH, sungai yang deras di hutan menjadi sumber air bagi kehidupan 1.211 jiwa meliputi 326 Kepala Keluarga (KK). Airnya pun jernih dan bersih.

AMAN Kalimantan Barat Desak Lahirnya Perda Hutan Adat Sintang

Kelompok PKK Dusun Landau Arai, Desa Jaya Mentari sedang merajut kerajinan tangan dari bahan yang di dapat dari hutan Desa Jaya Mentari, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang

Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat, Stefanus Masiun mengatakan Masyarakat adat adalah entitas nyata yang tidak dapat disangkalkan oleh negara.

Jauh sebelum negara ini ada masyarakat adat telah ada. Ketergantungan masyarakat adat terhadap hutan tanah dan air menunjukkan bahwa unsur tersebut adalah elemen penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat adat.

Lahirnya perhatian untuk memperjuangkan jaminan hak masyarakat adat atas hutan adatnya tidak lepas dari konflik yang dihadapi oleh masyarakat adat selama ini.

Konflik perampasan tanah adalah masalah yang paling sering dihadapi oleh masyarakat adat, pemberian ijin konsesi untuk perkebunan dan pertambangan skala besar terjadi tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat adat sebagai pemegang hak.

Tidak hanya berhadapan dengan perusahaan masyarakat adat juga sering kali harus berhadapan dengan negara berkaitan dengan penetapan kawasan hutan.

“Dalam temuan Inkuiri Nasional Komnas HAM terdapat 126, 8 juta ha kawasan hutan yang tumpang tindih dengan wilayah hidup masyarakat adat,” ucapnya, Sabtu (8/4/2017).

Lebih lanjut Masiun menjelaskan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 35/PUU-X/2012 menjadi tonggak penting perjuangan panjang masyarakat adat untuk merebut kembali haknya atas kekeliruan UU nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang meletakkan hutan adat sebagai hutan Negara.

Putusan MK 35 telah mengubah status hutan adat yang dulunya dikuasai oleh Negara menjadi hutan hak yang penguasaanya dimilIki oleh masyarakat adat. Putusan MK 35/PUU-X/2012 berisi beberapa pernyataan penting.

Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Kehutanan yang selama ini memasukan hutan adat sebagai bagian dari hutan negara merupakan bentuk dari pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan merupakan pelanggaran konstitusi.

Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyebutkan “Oleh karena itu, menempatkan hutan adat sebagai bagian dari hutan Negara merupakan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat hukum adat,” tuturnya.

Hutan adat dikeluarkan posisinya dari sebelumnya merupakan bagian dari hutan negara dimasukan sebagai bagian dari kategori hutan hak. Hal ini sebagai konsekuensi dari perubahan Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan.

Di dalam Putusan MK secara tegas disebutkan bahwa hutan adat bukan lagi menjadi bagian dari hutan negara, kategori hutan hak di dalamnya haruslah dimasukkan hutan adat.

Dalam putusan MK itu disebutkan juga bahwa posisi hutan adat merupakan bagian dari tanah ulayat masyarakat hukum adat. Hutan adat (yang disebut pula hutan marga, hutan pertuanan, atau sebutan lainnya) berada dalam cakupan hak ulayat karena berada dalam satu kesatuan wilayah (ketunggalan wilayah) masyarakat hukum adat, yang peragaannya didasarkan atas leluri (traditio) yang hidup dalam suasana rakyat (in de volksfeer) dan mempunyai suatu badan perurusan pusat yang berwibawa dalam seluruh lingkungan wilayahnya.

Gelisah Ancaman Perusak Hutan, Warga Jaya Mentari Sintang Damba Hutan Adat

Kelompok PKK Dusun Landau Arai, Desa Jaya Mentari sedang merajut kerajinan tangan dari bahan yang di dapat dari hutan Desa Jaya Mentari, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintan

Warga Desa Jaya Mentari, Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang mendambakan pengakuan Hutan Adat dari negara. Keberadaan Hutan di desa yang memiliki luas wilayah 5.228 hektare selama ini telah memberikan penghidupan yang besar bagi masyarakat.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Barat bersama beberapa media lokal termasuk Tribun melakukan perjalanan sejauh 165 kilometer dari Kota Pontianak untuk melihat berbagai potensi yang ada di Hutan Desa Jaya Mentari dalam upaya mendorong pengakuan Hutan Adat dari negara. Dimulai Selasa (4/4/2017) hingga Jumat (7/4/2017).

Hampir empat jam perjalanan kami lalui melewati perkebunan kelapa sawit. Jalan yang dilalui pun tak mudah. Tanah kuning yang berdebu menjadi tantangan perjalanan kami.

Bahkan beberapa titik jalan rusak berlumpur karna air yang mengenang. Kami pun harus berupaya ekstra untuk melewatinya. Apalagi tak ada sinyal di sana sehingga kami harus tetap bersama agar tak terpisah jauh.

Desa Jaya Mentari memiliki 6 dusun yang telah dialiri listrik selama 24 jam tanpa adanya pemadaman bergilir.

Listrik ini berasal dari keberadaan 5 Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) yang telah mengubah hidup masyarakat.

Dari lima unit PLTMH, hanya satu unit saja yang merupakan bantuan dari Pemerintah Kabupaten Sintang. Empat lainnya hasil swadaya masyarakat dengan memanfaatkan lembaga keuangan koperasi Credit Union (CU).

Tak hanya menjadi tenaga PLTMH, sungai yang deras di hutan menjadi sumber air bagi kehidupan 1.211 jiwa meliputi 326 Kepala Keluarga (KK). Airnya pun jernih dan bersih.

Komunitas Adat Cenayan Dorong Perdes

Perdes Akan Menjadi Acuan dan Kekuatan Masyarakat Memepertahankan Wilayah Adat Dari Ancaman Perusahaan

IMG_9879
Foto Bersama Setelah Membahas Perdes

Sekadau 10/5/2016 – Demi menjaga wilayah adatnya, Komunitas Adat Cenayan Kecamatan Nanga Mahap, Kabupaten Sekadau, Provinsi Kalimantan Barat (Kal-Bar) mendorong Peraturan Desa (Perdes) tentang ” Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat (MA). Dihadiri oleh Alexander, Kepala Desa Cenayan. Hamdi, Anggota Badan Pengurus Desa (BPD). Petrus Mon, Tokoh Adat dan perwakilan masyarakat lainnya, bertempat di Aula Kantor Desa Cenayan 08/5/2016.

Alexander menyampaikan Komunitas Adat Cenayan terdiri dari empat Dusun yaitu Cenayan, Jarau, Piansa, dan Kembiyan, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.295 orang meliputi laki-laki 682 jiwa dan perempuan 632 jiwa. “Dengan luas wilayah 6.689,08 Hektar berdasarkan hasil pemetaan yang difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kal-Bar,” paparnya.

Berdasarkan hasil keputusan musyawarah adat masyarakat seluruhnya sepakat mendorong adanya Perdes tentang “Pengakuan dan Perlindungan Terhadap Masyarakat Adat” mengingat sudah beberapa perusahaan yang mencoba berusaha akan masuk berinvestasi di Cenayan. Karena baik pihak desa, perangkat adat dan masyarakat sepakat menolak perusahaan dalam bentuk apa pun berinvestasi di wilayah adat cenayan. Hal ini dilakukan karena kekhawatiran masyarakat akan tergerusnya hutan, habisnya sumber daya alam, dan konflik sosial internal masyarakat maupun antar masyarakat dan investor. Dalam perdes nantinya berisi adanya “kesepakatan masyarakat menolak perusahaan”, jelas Alexander.

Hamdi mengatakan sempat hampir banyak perbedaan di masyarakat Cenayan, dimana sebagian besar masyarakat menolak perusahaan, tapi ada oknum-oknum yang hampir menyetujui masuknya perusahaan. Tetapi dengan melakukan musyawarah adat akhirnya semua mengambil keputusan untuk solusi bersama masyarakat adat Cenayan tetap menolak perusahaan. “Atas dasar hal inilah menjadi alasan sangat dibutuhkan adanya Perdes supaya menjadi acuan bersama,” tegasnya.

Masyarakat khawatir akan adanya konflik sosial diinternal masyarakat Cenayan, belum masuk perusahaan saja sudah berdampak pada perbedaan pendapat, belum nanti kalau sudah masuk perusahaan sangat dikhawatirkan menimbulkan masalah baru. “Jika masuk perusahaan lambat laun pastinya wilayah adat Cenayan semakin sempit bahkan bisa tidak ada wilayah adat lagi, oleh sebab itulah semua masyarakat adat Cenayan tetap komitmen bersama-sama mempertahankan wilayah adat,” tambah Hamdi.

Petrus Mon memaparkan sejak tahun 2003 telah adanya kesepakatan melalui musyawarah adat, bahwa masyarakat adat Cenayan telah membuat buku hukum adat dan sepakat menolak perusahaan dalam bentuk apa pun. “Peraturan adat yang telah dibuat tidak dapat diganggu gugat, jika pun ada revisi harus melalui musyawarah adat, karena aturan adat adalah titipan leluhur, adalah dosa besar jika titipan leluhur tidak dijaga, karena merupakan identitas masyarakat adat,” ungkapnya.

Saat ini seluruh masyarakat baik tokoh adat, perangkat desa, perempuan dan pemuda telah mencanangkan beberapa program yang nanti akan menjadikan Komunitas Adat Cenayan menjadi Desa Ekowisata atau wisata alam baru di Kabupaten Sekadau. “Harapan masyarakat dengan adanya Perdes menjadi dasar dan landasan untuk acuan tata kelola wilayah adat sebagai mana mestinya sesuai kearifan lokal masyarakat adat Cenayan dan Pemerintah Kabupaten Sekadau seharusnya cepat membuat Peraturan Daerah sesuai mandat putusan MK 35 tahun 2012 karena hingga saat ini baru ada berapa Kabupaten di Kal-Bar yang Perda sudah diketok palu oleh pemerintah,” tegas Petrus *** Paulus Ade Sukma Yadi.