AMAN Kalbar dan Pemda Sintang Akan Bahas TKHL

Tumpang Tindih Izin Perusahaan Berdampak Konflik Di Lapangan

dscn9661
Ketua Dewan AMAN Sintang, Ketua BPH AMAN Sintang dan Pengurus AMAN Kalbar

Sintang 21/9/2016  ̶  Banyaknya tumpang tindih perizinan perkebunan berdampak pada konflik antara masyarakat adat dan pihak perusahaan. Untuk menjalankan mandat dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat Kabupaten Sintang yang telah disahkan pada tahun 2015 lalu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Propinsi Kalimantan Barat (Kalbar) akan menggelar pertemuan diskusi dengan dr. H. Jarot Winarno, M. Med. PH selaku Bupati periode 2016-2021 tentang Tata Kelola Hutan dan Lahan (TKHL) Kecamatan Tempunak. Diskusi direncanakan pada tanggal 27, 28 atau 29/9/2016.

Diskusi tersebut akan dihadiri Pengurus AMAN Kalbar, Pengurus AMAN dan Dewan AMAN Sintang, Dinas-dinas terkait, perwakilan pengurus adat Desa Jaya Mentari, Pangkal Baru, Benua Baru, Pulau Jaya, Kuala Tiga, Kupan Jaya, Sungai Buluh, Gurung Mali dimana daerah tersebut semuanya berada di Kecamatan Tempunak, Kabupaten Sintang. Diskusi akan dihadiri Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sintang.

Depriadi, Biro Mitra Jaringan dan Penanganan Kasus AMAN Kalbar memaparkan AMAN Kalbar akan memastikan yang mana wilayah hutan adat. Mengacu pada Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat yang telah diajukan sejak tahun 2009 dimana hutan adat adalah milik masyarakat adat bukan lagi hutan negara. “AMAN Kalbar berkomitmen akan terus mengawali Perda demi kepentingan masyarakat adat di daerah-daerah khususnya Sintang,” paparnya.

Antonius Antong, Ketua Pengurus Daerah AMAN Kabupaten Sintang menyampaikan terkait rencana diskusi TKHL beberapa wilayah hutan telah dipetakan khususnya Kampung Ansok (Benua Kencana), Gurung Mali dan Bekulai masuk Hutan Produksi Terbatas (HPT) yaitu program sarana air bersih dari pemerintah berdasarkan data Bappeda. “Bukit Sarang dan Pujau masuk hutan lindung dan produksi, sementara masyarakat adat belum mengetahuinya karena belum adanya sosialisasi dan dipublikasikan kepada mereka akan wilayah-wilayah tersebut,” jelasnya.

Daniel Banai, Anggota Komisi C DPRD dan Ketua Dewan AMAN Kabupaten Sintang mengatakan selama ini selalu terlibat dalam membahas pendapatan daerah, kesejahteraan rakyat sesuai tugasnya dari Anggota Komisi C khususnya infrastruktur jalan, jembatan, pendidikan, dan listrik. “Beberapa kali dalam pertemuan terkait perkebunan monokultur bersama Dinas Kehutanan dan Perkebunan, masih banyak terjadi kerusakan hutan masyarakat adat akibat perusahaan, Dinas dan Badan terkait memiliki semua data dan mengetahui kerusakan di wilayah-wilayah hutan adat” paparnya.

Selama ini rapat kerja yang selalu menjadi catatan bagaimana prosedur pemberian izin perkebunan. Mulai dari tahap informasi lahan, selama ini informasi lahan disampaikan kepada masyarakat tidak selektif. Salah satu contoh yang terjadi di Bukit Saran menimbulkan pro dan kontra luar biasa, perjuangan membela hak-hak masyarakat adat masih dibenturkan dengan berbagai persepsi sehingga membuat mereka berbeda pemahaman. Informasi izin lahan Kecamatan Tempunak Hulu langsung diberikan oleh pengurus desa, sementara masyarakat adat tidak mengetahuinya. Perusahaan merekrut oknum-oknum yang berpengaruh di daerah tersebut dengan alasan numpang camp. Sedangkan aturannya tidak boleh ada camp perusahaan di daerah masyarakat adat. “Seperti terjadi di Kupan Jaya dan Benua Baru, sementara Pemda Sintang belum memberikan solusi,” ungkap Daniel.

Perda Kabupaten Sintang tidak pernah dipublikasikan kepada Publik, seharusnya disampaikan melalui media cetak dan online, seperti Perda Kalimantan Utara dsehingga publik mengetahui proses dan fungsi Perda. Karena Mandat Putusan MK 35 tahun 2012 tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Adat, hutan yang berada di wilayah masyarakat adat adalah milik masyarakat adat dan milik Komunitas bukan milik pribadi, tidak dapat diganggu gugat oleh pihak luar apalagi perusahaan dan bukan milik desa. Hutan tersebut milik Komunal dapat dimanfaatkan sesuai kearifan lokal. Hutan adat yang terdapat di wilayah mereka terdapat pemukiman, tempat berladang, tempat mencari sayur, hewan-hewan untuk dikonsumsi memenuhi kebutuhan hidup, kuburan tua, gupung, temawai, tempat ritual dan sumber mata air. Hutan masyarakat adat bukan hanya memiliki pohon-pohon besar tetapi tempat hidup dan berladang. Hutan adat dapat diakui oleh pemerintah jika memiliki peta partisipatif disertai  legalitas dari Kepala Desa dan Camat setempat. “Sehingga adapat diserahkan kepada pemerintah dan DPRD sebagai eksekutor pembangunan,” jelas Daniel **** Paulus Ade Sukma Yadi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *