AMAN Kalimantan Barat Melarang Presiden Jokowi menggunakan Busana Adat dalam upacara kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 Tahun.

Penulis Febrianus Kori (Jurnalis AMAN Kalimantan Barat) sumber foto : Tribun News. com

Saat ini Masyarakat Adat menantikan kepastian hukum dari negara untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Adat yang sampai dengan hari ini masih menjadi korban dalam perampasan wilayah-wilayah adat serta tidak sedikit mendapatkan diskriminasi bahkan kriminalisasi dari pihak-pihak tertentu untuk merebut wilayah adat serta perambahan hutan skala besar-besaran dengan dalih Pembangunan dan pemberdayaan bagi Masyarakat Adat.

Oleh karena itu, menjelang detik-detik perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 Tahun yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 2023, serta melihat bahwa masa kepemimpinan Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak. Jokowi akan selesai di tahun 2024 yang akan datang, namun masih banyak janji-janji besar Presiden belum di tepati dan salah satunya adalah memberikan kepastian hukum melalui Undang-Undang Masyarakat Adat yang hingga saat ini masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) dan belum ada kejelasan atau tak kunjung disahkan.

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat ini dari tahun 2009 lalu hingga sekarang hanya bolak-balik masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hal ini menjadi kekhawatiran bagi Masyarakat Adat di seluruh nusantara, ketika mereka tengah berjuang mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara, terutama hak atas wilayah adat beserta sumber daya alamnya, sehingga keberadaan Masyarakat Adat dapat berdaulat dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, secara konstitutional, pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat telah dipertegas secara eksplisit dalam Pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945 yaitu ‘’Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang ’’. Dengan ini maka ada kekuatan yang besar bagi Masyarakat Adat untuk berjuang bersama dalam rangka untuk memastikan bahwa RUU Masyarakat Adat ini dapat disahkan sesegera mungkin.

melihat hal tersebut kami sebagai Masyarakat Adat juga tidak ingin Busana Adat kami hanya di jadikan sebagai simbol atau pelengkap untuk menarik simpati Masyarakat Adat, karena selama moment upacara perayaan hari kemererdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus, Bpk. Presiden Jokowi selalu menggunakan Busana Adat yang menjadi salah satu ciri khas atau identitas Masyarakat Adat, tapi payung Hukum bagi Masyarakat Adat belum juga di sahkan.

Sumber Foto : Tribun News. com

Penulis Febrianus Kori (Jurnalis AMAN KALIMANTAN BARAT)

Perempuan Adat di Lima Kampung Bergerak dan Bersepakat untuk mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat

 

Saat ini Perempuan Adat di Lima Kampung di Desa Sekendal Kabupaten Landak Kalimantan Barat bersepakat untuk melakukan percepatan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat hal ini dilakukan sebagai bentuk menjaga wilayah adat dan tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu, Pengakuan dan perlindungan ini adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat adat maka perlu melakukan kerja-kerja bersama.

Kampung Sekendal, Kampung Limpo, Kampung Bareh, Kampung Kelepuk dan Kampung Antajam saat ini sedang mempersiapkan Pengakuan dan perlindungan seperti melakukan Pemetaan Partisipatif dan Pengalian data sosial, ini menjadi unik dan hebat karena Peran Perempuan Adat di sini yang menjadi Pelopor, Pengerak dalam Pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di lima kampung ini.

Ibu Wadah Adalah salah satu Perempuan Adat yang tinggal di Kampung Limpo dalam keseharian yang menjadi seorang guru di sekolah Dasar dan juga menjadi Anggota Badan Permusyawarah Desa Sekedal serta ketua kelompok Ibu-ibu di Kampung Limpo, memiliki semangat dan bisa dikatakan sebagai pejuang Masyarakat Adat kampung Limpo ditengah kesibukan beliau masih memikirkan bagaimana kampung Limpo dalam mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan dengan mengerakan masyarakat adat di Kampung Limpo untuk melakukan pemetaan  wilayah adat dan pengalian data sosial spasial.

Saat ini Kabupaten Landak telah mendapatkan 3 SK MHA (Surat Keputusan Masyarakat Hukum Adat) dengan luasan wilayah adat 7.700 Ha. Harapanya Kampung Limpo dan Antajam dll menyusul untuk mendapatkan SK MHA tentu dengan menyelesaikan beberapa tahapan menuju pengakuan dan Perlindungan seperti kelengkapan Administrasi Dokumen Data sosial dan spasial dan Peta wilayah adat.

Sebagai tindaklanjut dan mempersiapkan setelah mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan Maka Perempuan Adat di Kampung Antajam, Bareh, Sekendal dan Kelepuk serta Engkitip mereka telah memikirkan bagaimana kedepan ketika sudah mendapatkan pengakuan dan perlindungan mereka yang akan berdaulat atas tanahnya dan mengelola sesuai kearifan lokal yang adat. Pendampingan yang di lakukan oleh PW AMAN KLABAR (Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat). Mereka telah mendapatkan pelatihan-pelatihan hingga praktek tentang mengelola Padi, Jagung, Kacang dan sayuran dll, hingga baru-baru ini telah dilaksanakan Sosialisasi Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) ini akan menjadi strategi untuk masyarakat adat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada ketika telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan oleh Pemerintah.

Hal yang sama juga disampaikan Oleh Tono selaku (Ketua PJS PW AMAN Kalimantan Barat), Bahwa semua pihak berhak untuk menjaga wilayah adatnya sebagai bentuk rasa memiliki wilayah adatnya dan kami sangat mengapresiasi Perempuan Adat di Lima Kampung yang ada di Desa Sekendal yaitu Kampung Sekendal, Limpo, Antajam, Bareh dan Kelepuk. karena mereka menjadi pengerak Masyarakat di Kampung-kampung untuk bergerak dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

#amankalbar #masyarakatadat #ruumasyarakatadat

 

Sumber : PW AMAN KALBAR

Penulis : Febrianus Kori

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA LEBARKAN SAYAP DI KETAPANG UTARA

Oleh Kurnianto Rindang

PW AMAN KALBAR, KETAPANG – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) lebarkan sayap di Ketapang Utara dengan menggelar Jambore Daerah I di Desa Paoh Concong, Gedung Serba Guna Bunda Maria Stasi Kelipor. Jumat, 07 – 09 Juli 2023.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara PN BPAN dengan PW BPAN Kalbar dan PD AMAN Ketapang Utara. Selain para peserta Jamda. turut hadir Pengurus Nasional (PN) BPAN Febrianus Kori, para pengurus wilayah BPAN Kalbar bersama Ketua PW BPAN KALBAR Dama Saputra Supin, Ketua AMAN Ketapang Utara Abel, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda serta Perempuan Adat.

Dalam sambutannya Supin Menjelaskan Barisan Pemuda Adat Nusantara merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dimana BPAN berfungsi sebagai wadah berhimpunnya pemuda-pemudi adat nusantara yang merasa senasib, sepenanggungan, seperjuangan dan setujuan.

“Kita harus pahami bersama kenapa BPAN ini terbentuk. BPAN terbentuk karena adanya ketidak adilan terhadap masyarakat adat yang secara khusus berdampak terhadap pemuda adat. Sadar akan perlu adanya kekuatan yang tangguh, Pemuda Adat yang pada hakikatnya adalah generasi penerus masyarakat adat yang berjuang bersama para pendukungnya yang senasib sepenanggungan, bertekad bulat untuk mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya dengan terus-menerus memberdayakan diri di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum,” Tutur Supin.

Sementara itu Ketua PD AMAN Ketapang Utara Abel menuturkan bahwa masyarakat adat di Ketapang Utara sangat memerlukan dukungan dan gerakan dari para pemuda adat dalam memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak masyarakat adat.

“Kita semua tahu betul bahwasanya Masyarakat Adat di Ketapang Utara saat ini situasinya sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, saya sangat berterimakasih karena telah dibentuknya BPAN Ketapang Utara ini. Semoga dengan adanya BPAN ini, gerakan dan advokasi-advokasi kita untuk masyarakat adat semakin berdampak dalam upaya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang saat ini terancam dirampas,” paparnya.

Lebih lanjut Febrianus Kori menambahkan bahwa BPAN organisasi adalah milik bersama bukan satu golongan, dan gerakannya harus beriringan.

“Saya perlu sampaikan kepada kita semua bahwa, BPAN ini organisasi milik bersama, jadi bukan milik satu golongan ataupun suku tertentu. BPAN ini mempunyai tujuan yang mulia yakni, bagaimana upaya kita Pemuda Adat mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat yang saat ini dipandang sebelah mata sebagai masyarakat yang primtif, tertinggal bahkan dianggap kolot. Maka dari itu gerakan kita tidak bisa hanya individu tetapi kerjasama dan saling beriringan agar apa yang ingin kita capai benar-benar bisa terwujud. Jika hal tersebut bisa kita laksanakan, maka gerakan yang selama ini kita gelorakan yaitu Mengurus, mengelola dan mempertahankan wilayah adat niscaya bisa kita lakukan, Pungkasnya.

Setelah sambutan-sambutan, JAMDA I BPAN Ketapang Utara tersebut dilanjutkan dengan Musyawarah Mufakat. Dalam keputusannya, disepakatilah saudara Fransiskus Siswanto Elo atau yang akrab disapa Elo untuk menjadi Ketua BPAN PD Ketapang Utara kurun waktu 4 tahun kedepan.

“Terimakasih kepada kita semua karena telah percaya kepada saya untuk menjadi Ketua BPAN PD Ketapang Utara ini. Menjadi seorang ketua bukanlah tanggung jawab yang mudah, maka dari itu saya mohon bimbingan dan masukan dari Bapak, Ibu serta rekan-rekan semua selama menjabat ketua di BPAN Ketapang Utara ini. Saya beserta rekan-rekan pengurus nantinya akan berusaha semaksimal mungki dalam menjaga dan mengelola wilayah adat, serta berjuang untuk membela dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat, ucap Elo sembari mengakhiri seluruh rangkaian kegiatan JAMDA I BPAN Ketapang Utara tersebut.

***

Penulis Adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

TERPILIH MENJADI KETUA, ANDRI SIAP KIBARKAN PANJI-PANJI BPAN DI KABUPATEN BENGKAYANG

Oleh Kurnianto Rindang

AMAN KALBAR, BENGKAYANG – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Barat laksanakan Jambore Daerah I untuk membentuk Pengurus Daerah (PD) BPAN di Kabupaten Bengkayang. Jumat, 30 – 01 Juni 2023.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara PW BPAN Kalimantan Barat, PW AMAN Kalimantan Barat dan PD AMAN Bengkayang. BPAN adalah organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). BPAN berfungsi sebagai wadah berhimpunnya pemuda-pemudi adat nusantara yang merasa senasib, sepenanggungan, seperjuangan dan setujuan.

Selain peserta JAMDA, turut Hadir dalam kegiatan tersebut, Perwakilan Pengurus dari PW AMAN Kalbar Tono, Ketua PD AMAN Bengkayang Nico Andas Putra, Biro OKK AMAN Bengkayang Tias, Pengurus Nasional BPAN Febrianus Kori dan Ketua BPAN Kalbar Dama Saputra Supin.

Dalam sambutanya, Ketua PD AMAN Bengkayang memaparkan bagaiamana situasi masyarakat adat di Kabupaten Bengkayang.

“saat ini memang kondisi masyarakat adat di Kabupaten Bengkayang sedang mengalami situasi yang tidak baik-baik saja. kita bisa lihat beberapa kasus atau konflik yang dialami masyarakat adat dengan pihak perusahaan, membuat posisi masyarakat adat semakin terpinggirkan. Konflik ini bisa saja terus terjadi dan bahkan semakin memuncak ketika tidak adanya atau belum maksimalnya keterlibatan pemuda di dalam komunitas, Ujarnya”.

Lebih lanjut nico menyampaikan pemuda sebagai generasi penerus dan calon pemimpin harus mampu terlibat aktif dan berperan dalam menjawab persoalan yang ada.

“Untuk menyikapinya, pemuda yang notabene adalah generasi penerus dan calon pemimpin  harus mampu menjawab berbagai persoalan-persoalan yang terjadi di komunitas masyarakat adat dengan sebuah tindakan nyata. Salah satunya, terlibat aktif dalam upaya mempertahankan wilayah adat dari segala pengerusakan dan ancaman oleh industri-industri ekstraktif, Pungkasnya.”

Sementara itu Ketua BPAN Kalbar Supin menyampaikan bahwa anggota BPAN adalah pemuda-pemudi adat yang berusia dari 15 sampai 30 tahun yang berasal dari komunitas Masyarakat Adat serta terdaftar sebagai anggota BPAN. Supin juga menambahkan pemuda adat Nusantara adalah generasi penerus yang sadar bahwa hak-haknya sebagai masyarakat adat sepenuhnya ada diwilayah adat.

“untuk itu saya sampaikan, terus perkuat barisan, perluas solidaritas dengan pemuda dan masyarakat lainnya dalam menjaga wilayah adat dan bumi,” Tuturnya.

JAMDA I Bengkayang tersebut dihadiri oleh 56 Pemuda Adat yang berasal dari Komunitas Semunying Jaya, Baremada, Sebalos, Dawar, Sempayuk, Sekaruh, Tumiang dan Komunitas Pasti Jaya. Dalam keputusan musyawarah mufakat, saudara Andri disepakati untuk menjadi Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Bengkayang untuk 4 Tahun Kedepan.

“Pemuda Adat harus berupaya mempertahankan kearifan lokal dan kekayaan-kekayaan Sumber Daya Alamnya, dan tentunya pula harus berupaya meningkatkan kapasitasnya guna menjawab tantangan kedepan tersebut. Salah satu upaya upaya peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan terlibat aktif dalam Organisasi Kepemudaan, diantaranya ialah terlibat dalam Organisasi Barisan Pemuda Adat Nusantara, Ucap Andri sekaligus mengakhiri rangkaian kegiatan JAMDA Tersebut.”

***

Penulis Adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

BPAN KALBAR GELAR PENINGKATAN KAPASITAS PEMUDA ADAT

Oleh Kurnianto Rindang

PW AMAN Kalimantan Barat, KETAPANGBPAN PW Kalimantan Barat gelar Peningkatan Kapasitas Pemuda Adat di Gedung Serba Guna Bunda Maria Stasi Kelipor. Sabtu, 07 – 09 Juli 2023.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara BPAN dengan Penabulu Foundation. Selain para peserta, turut hadir Ketua PW BPAN KALBAR Dama Saputra Supin, Ketua AMAN Ketapang Utara, Ketua Adat Kelipor, Para Tokoh Masyarakat dan Perempuan adat.

Salah seorang tokoh masyarakat kelipor Lorensius Kayan berharap pemuda adat mendapat pengetahuan dan keterampilan baru dalam upaya menjaga dan mengelola wilayah adat.

“saya berharap dengan adanya kegiatan peningkatan kapasitas ini,  pemuda adat di daerah Ketapang Utara ini mempunyai wawasan dan keterampilan yang menunjang mereka sebagai bekal untuk menjaga dan mengelola wilayah adat” Pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalbar, Dama Saputra supin dalam sambutannya menyebut bahwa peningkatan kapasitas ini sengaja dilaksanakan di ketapang utara, supin memandang ketapang utara memiliki potensi pemuda yang sangat aktif. bisa dilihat bahwa pemuda adat disini dari sejak dulu sudah bergerak menjaga wilayah adatnya. Atas dasar tersebut kita dari BPAN memandang perlunya pendampingan seperti peningkatan kapasitas yang saat ini dilaksanakan.

“Semoga dengan adanya peningkatan kapasitas ini teman-teman pemuda adat lebih bersemangat lagi dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya,” Ujarnya.

Dalam kegiatan peningkatan kapasitas pemuda adat itu, turut menjadi pemateri Febrianus Kori Pengurus Nasional BPAN, Bobpi Kaliyono, SH selaku Biro OKK AMAN Kalbar dan Plorenthina Dessy selaku Pendiri Sekolah Adat Arus Kualan.

Dalam paparannya febrianus kori menyampaikan bahwa perkembangan teknologi saat ini harus dimanfaatkan pemuda adat sebagai media untuk melestarikan tradisi dan budaya.  Jika kita sebagai pemuda adat tidak bisa memanfaatkan teknologi ini sebagi media untuk melestarikan adat dan budaya maka 20 tahun kedepan kita akan kehilangan identitas kita sebagai masyarakat adat.

“manfaatkan kemajuan teknologi saat ini untuk melestarikan adat dan budaya kita, tulis setiap cerita dan sejarah asal usul  yang ada dikampung kita, dokumentasikan segala permainan tradisional, tanaman obat-obatan tradsional, segala jenis kayu serta semua hal yang berkaitan erat dengan masyarakat adat. jangan sampai kita kehilangan identitas dan jati diri kita sebagai maasyarakat adat,” paparnya.

Kemudian Plorenthina Dessy yang merupakan pendiri dari Sekolah Adat Arus Kualan ini menegaskan bahwa. Setiap Pemuda adat itu memiliki kemampuan serta potensi yang dapat dipergunakan dalam upaya Mengelola, menjaga dan melstarikan wilayah adat serta pengetahuan tradisional yang ada.

“kita sebagai pemuda harus percaya diri dan bangga sebagai masyarakat adat. kalian memiliki kemampuan dan keahlian. Petakan potensi dan kemampuan yang ada, pergunakan untuk kelestarian wilayah adat dan pengetahuan tradisional masyarakat adat,” ujarnya.

Sementara itu, bobpi kaliyono yang juga merupakan seorang pengacara tersebut menyampaikan bahwa, pemuda adat sebagai agen perubahan memiliki peranan penting dalam upaya mendorong komunitas adat yang ada dikampungnya agar mendapat Pengakuan dan Perlindungan dari Pemerintah ataupun Negara supaya tidak ada lagi masyarakat adat yang didiskriminasi dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak-haknya sebagai masyarakat adat.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Barat

AMAN dan BPAN Kalimantan Barat: PT. Mayawana Persada Segera Angkat Kaki dari Wilayah Adat Kami

Oleh Kurnianto Rindang

Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Barat mengecam banyaknya aksi perampasan wilayah adat yang dilakukan sejumlah perusahaan, yang disertai diskriminasi terhadap Masyarakat Adat di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

AMAN Kalbar dan BPAN Kalbar merilis sejumlah kawasan wilayah adat yang dirampas. Diantaranya, Tonah Colap Torun Pusaka milik Masyarakat Adat Benua Kualan Hilir yang kini telah dirampas oleh perusahaan yang bernama PT. Mayawana Persada.

Tonah Colap Torun Pusaka atau yang disebut wilayah adat milik Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir ini mencakup Bukit Serangkang seluas 1600 hektar, Bukit Sabarbubu seluas 1200 hektar, dan Bukit Tunggal seluas 850 hektar.

Fransiskus Padma, pengurus BPAN Kalimantan Barat menyatakan kawasan wilayah adat selalu dijaga dan dilindungi oleh Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir, namun kini telah dirampas oleh Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Mayawana Persada. Akibatnya, Masyarakat Adat terancam kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam di Tanah Colap Torun Pusaka yang telah mereka jaga dan lindungi sejak dulu.

“Saat ini, Masyarakat Adat Kualan Hilir berada dalam tekanan hebat, seiring dengan meningkatnya penetrasi kepentingan kapital dalam bungkus berbagai macam proyek atas nama investasi yang dijalankan oleh PT. Mayawana Persada,” ungkap Fransiskus Padma.

BPAN Kalimantan Barat meminta kepada PT. Mayawana Persada agar memperhatikan kesepakatan yang telah dibuat masyarakat melalui Lembaga Pemangku Adat Benua Kualan Hilir. Selain itu, PT Mayawana Persada juga harus menghargai segala bentuk kearifan lokal Masyarakat Adat Kualan Hilir dan dengan segera menghentikan segala bentuk kegiatan proyek di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka.

“Stop semua kegiatan PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Kita minta mereka segera angkat kaki dari tanah leluhur,” tegasnya.

Padma menjelaskan bahwa sebelumnya, sudah pernah dilaksanakan penyelesaian perkara sengketa lahan dengan acara adat di gedung Serbaguna Gensaok pada tanggal 11 Mei 2020. Acara adat tersebut dihadiri pejabat Kepala Desa Kualan Hilir, Dewan Adat Dayak Simpang Hulu, dan Perwakilan Petinggi Adat dan Manajemen PT. Mayawana Persada. Acara tersebut menghasilkan kesepakatan antara Masyarakat Adat dengan PT. Mayawana Persada.

“Hasil kesepakatannya, lahan dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” ujar Padma.

Dikatakannya, masyarakat juga sudah pernah mengirimkan surat pemberitahuan kepada pihak perusahaan dengan bunyi mereka menolak dan tidak menerima kehadiran PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Namun, perjanjian dan surat pemberitahuan tersebut tidak diindahkan oleh PT. Mayawana Persada. “Mereka tetap merampas wilayah adat kami,” sambungnya.

Menurut Padma, tindakan PT. Mayawana Persada telah melewati batas. Wilayah adat yang telah mereka lindungi dan jaga sejak lama, justru dirampas oleh perusahaan tersebut. “BPAN mengecam segala bentuk aktivitas perampasan wilayah adat,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat, Dominikus Uyub bahwa masuknya perusahaan PT Mayawana Persada ke kawasan Tonah Colap Torun Pusaka menjadi malapetaka bagi komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir.

Dikatakannya, perusahaan PT Mayawana Persada secara sepihak menguasai dan menghancurkan wilayah adat di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka yang berakibat muncul konflik. Padahal, selama ini kawasan tersebut dijaga oleh Masyarakat Adat secara turun temurun. “Kawasan wilayah adat tidak boleh diganggu atau dirusak untuk kepentingan industri apapun,” ujarnya.

Dominikus mengatakan rusaknya wilayah adat di sekitar kawasan Tonah Colap Torun Pusaka atas ekspansi PT Mayawana Persada menimbulkan persoalan sosial baru dan rusaknya ekologi, serta menghancurkan atau menghilangkan entitas Masyarakat Adat atas wilayah adat.

Untuk itu, katanya, pemerintah harus menindak tegas PT Mayawana Persada yaitu dengan mencabut izinnya karena diduga telah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wilayah Adat Penyangga Kehidupan

Wilayah adat sebagai penyangga kehidupan, memiliki fungsi yang sangat besar dalam menentukan keberlanjutan makhluk hidup yang ada di bumi, sehingga kelestariannya harus selalu di jaga dalam setiap perkembangan zaman. Namun faktanya saat ini, upaya-upaya dalam menjaga kelestarian wilayah adat telah terhalangi oleh aktivitas ekspansi industri ekstraktif seperti yang dilakukan PT Mayawana Persada.

“Mereka telah secara nyata mengeksploitasi wilayah adat dan segala sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, dengan dalil untuk pembangunan,” tuturnya.

Menurutnya, semakin masifnya pengambil alihan secara paksa, penghancuran serta kapitalisasi wilayah adat bertolak belakang dengan spirit yang diperjuangkan oleh dunia Internasional terkait aksi kolektif bagi setiap negara untuk menekan laju degradasi dan deforestasi hutan. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis dalam menghadapi perubahan iklim yang saat ini telah menjadi bencana Internasional.

Oleh karena itu, kata Dominikus, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menyepakati, baik itu resolusi, konvensi serta deklarasi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan mengevaluasi investasi yang ada di dalam negeri, terkhususnya pengusahaan di sektor kehutanan atau lingkungan hidup.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

AMAN KALBAR Tegaskan Aktivitas Berladang Merupakan Kearifan Lokal

Kepala Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN Kalbar), Bobpi Kaliyono

Kepala Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN Kalbar), Bobpi Kaliyono, menegaskan bahwa berladang bukan tindakan melawan hukum. Ia mengatakan, bahwa aktivitas berladang justru adalah sebuah kearifan lokal yang dilindungi oleh Undang-Undang.

“Karena merupakan kearifan lokal yang dilindungi oleh Undang – Undang, sehingga tidak boleh ada kriminalisasi terhadap peladang,” ujarnya.

Bobpi pun kemudian menjadikan momen di mana 6 orang peladang dari Kabupaten Sintang yang diputus bebas tahun lalu (9/3/2020) sebagai cerminan kebangkitan peladang di Nusantara yang sudah semestinya bebas dari kriminalisasi. 6 peladang tersebut diputus bebas setelah tidak secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana oleh hakim Pengadilan Negeri Sintang. .

Kala itu, kasus bermula ketika 6 orang peladang membakar lahannya sendiri untuk keperluan menanam padi, kemudian mereka ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kepolisian Resort Sintang (Polres Sintang) pada pertengahan Agustus 2019.

Mereka ditangkap, karena diduga sebagai pelaku yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sekitar areal yang dijadikan sebagai lokasi untuk berladang.

“Padahal temuan di lapangan bahwa lokasi yang terbakar tidak melebihi 2 hektar,” kenang Bobpi.

Keenam peladang tersebut sempat didakwa melanggar 3 Undang-Undang sebelum dinyatakan bebas, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Kejadian penangkapan tersebut merupakan preseden yang buruk atas penegakkan hukum di Indonesia, yang dimana aktivitas berladang merupakan sebuah kearifan lokal yang telah dilindungi dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tegas Bobpi.

Bobpi menambahkan aktivitas berladang selain untuk menjaga sumber ketahanan pangan, juga untuk menjalankan sebuah tradisi turun temurun serta entitas diri sebagai bagian dari kelompok bangsa.

Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Sintang atas perkara 6 orang Peladang tersebut, pada intinya mempertegas bahwa berladang adalah bagian dari kearifan lokal dan dilindungi berdasarkan Pasal 69 Ayat (2) UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Maka para peladang yang tetap membuka lahan dengan cara membakar, seharusnya tidak boleh dikriminalisasi, melainkan harus diberikan pendampingan baik dari tetua adat maupun dari pemerintah dalam upaya untuk menyelaraskan pengetahuan kekinian dengan kearifan lokal, sebagai kunci penyelesaian masalah yang dilakukan oleh para peladang,” sambung Bobpi.

Untuk menghindari kembali kriminalisasi terhadap peladang, maka pasca putusan bebas tersebut Bobpi berharap bisa menjadi pembelajaran bagi kepala daerah di seluruh Indonesia untuk segera membentuk produk hukum daerah, salah satunya melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Peladang Tradisional.

“Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka untuk menjamin dan memastikan agar para peladang dapat berdaulat atas kearifan lokalnya,” pungkasnya.

AMAN Kalbar Tegaskan Aktivitas Berladang Merupakan Kearifan Lokal

Perempuan dan Ketahanan Iklim

Perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global merupakan fenomena yang sulit dihindari dan berdampak pada banyak sektor kehidupan. Masalah perubahan iklim semakin krusial bagi kelompok yang paling rentan seperti masyarakat adat, terutama perempuan.  Perubahan iklim mempersulit perempuan adat untuk memperoleh dan mengelola sumber daya.  Padahal akses perempuan terhadap sumber daya alam sangat penting untuk ketahanan menghadapi perubahan iklim.

Kondisi ini memaksa perempuan untuk bertanggung jawab dalam peran ganda dalam rumah tangga; bekerja dalam ranah domestik sekaligus memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga muncul potensi hambatan bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana pengelolaan wilayah adat.

Pada kenyataannya dalam setiap perencanaan dan usaha pengembangan sumber daya, perempuan kerap menjadi kelompok yang tertinggal. Padahal indikator keberhasilan pengembangan sumber daya adalah hasil pembangunan yang bisa diterima oleh perempuan maupun laki-laki secara setara, proporsional dan berkelanjutan.

Latar belakang ini yang mendorong AMAN KALBAR bersama dengan Pawanka Fund untuk mengadakan program pendampingan kepada perempuan adat di Desa Sekendal, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. 

Pendampingan dilakukan melalui serangkaian pelatihan dan lokakarya untuk meningkatkan kapasitas perempuan serta perencanaan dan pelatihan usaha alternatif berdasarkan potensi paling dominan yang dimiliki oleh perempuan adat di desa Sekendal, yaitu pertanian dengan kearifan lokal dan pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu, seperti rotan dan bambu.

Penerapan pertanian dengan kearifan lokal diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang kerap muncul akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan sedangkan pengelolaan hasil hutan bukan kayu mampu memelihara pengetahuan tradisional perempuan adat dan melibatkan peran aktif mereka dalam konservasi wilayah adat.

Dengan meningkatkan pemahaman perempuan mengenai hak-hak mereka atas pengelolaan wilayah adat, harapan besar agar perempuan adat dapat mandiri secara ekonomi serta dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat keluarga, komunitas dan birokrasi mengenai pengelolaan wilayah adat menjadi tujuan utama untuk meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim.

 

 

Penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Tata Batas Wilayah Adat Antar Desa Belaban Ella, Kabupaten Melawi

Menyadari penting adanya tata batas di wilayah antar desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, aparatur desa Belaban Ella beserta Masyarakat Adat telah  membuat surat permohonan untuk pengakuan Wilayah Adat kepada pemerintah.

Menindaklanjuti surat tersebut, pada 08 September 2020 telah diadakan Penandatangan Berita Acara Kesepakatan Tata Batas Wilayah Adat Antar Desa Belaban Ella.

Kesepakatan disaksikan oleh 76 orang perwakilan undangan termasuk masyarakat adat, tokoh adat, pemuda, perempuan dan Kesatuan Pengelolaam Hutan kabupaten Melawi.

Musyawarah Adat Suku Dayak Kancink Kabupaten Sekadau Untuk Lestarikan Adat dan Budaya

Dilatarbelakangi oleh kekhawatiran hilangnya tradisi dan adat istiadat tradisional, Masyarakat Adat Kacink, Kampung Sarik, Desa Nanga Mongkok, Kecamatan Nangga Taman, Kabupaten Sekadau berinisiatif mengadakan musyawarah adat dan diskusi bersama pada 9 Agustus 2020., beretepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia.

Musyawarah adat ini dihadiri oleh masyarakat Adat Kancingk dari berbagai usia dengan tujuan agar terjalinnya komunikasi dan pertukaran ilmu antara generasi tua dan muda. Kegiatan diawali dengan ritual adat oleh para tetua adat dan disaksikan oleh seluruh pemuda yang hadir dalam musyawarah.

Dengan adanya kegiatan musyarawarah ini, masyarakat berharap agar adat istiadat serta tradisi nenek moyang yang sudah lama di lupakan dapat kembali dilestarikan. Masyarakat Adat Kancink juga berencana untuk mendokumentasikan adat istiadat leluhur ke dalam sebuah buku agar dapat membagikan pengetahuan tersebut ke generasi berikutnya.