Perempuan dan Ketahanan Iklim

Perubahan iklim sebagai akibat dari pemanasan global merupakan fenomena yang sulit dihindari dan berdampak pada banyak sektor kehidupan. Masalah perubahan iklim semakin krusial bagi kelompok yang paling rentan seperti masyarakat adat, terutama perempuan.  Perubahan iklim mempersulit perempuan adat untuk memperoleh dan mengelola sumber daya.  Padahal akses perempuan terhadap sumber daya alam sangat penting untuk ketahanan menghadapi perubahan iklim.

Kondisi ini memaksa perempuan untuk bertanggung jawab dalam peran ganda dalam rumah tangga; bekerja dalam ranah domestik sekaligus memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Sehingga muncul potensi hambatan bagi perempuan untuk terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan tentang bagaimana pengelolaan wilayah adat.

Pada kenyataannya dalam setiap perencanaan dan usaha pengembangan sumber daya, perempuan kerap menjadi kelompok yang tertinggal. Padahal indikator keberhasilan pengembangan sumber daya adalah hasil pembangunan yang bisa diterima oleh perempuan maupun laki-laki secara setara, proporsional dan berkelanjutan.

Latar belakang ini yang mendorong AMAN KALBAR bersama dengan Pawanka Fund untuk mengadakan program pendampingan kepada perempuan adat di Desa Sekendal, Kecamatan Air Besar, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. 

Pendampingan dilakukan melalui serangkaian pelatihan dan lokakarya untuk meningkatkan kapasitas perempuan serta perencanaan dan pelatihan usaha alternatif berdasarkan potensi paling dominan yang dimiliki oleh perempuan adat di desa Sekendal, yaitu pertanian dengan kearifan lokal dan pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu, seperti rotan dan bambu.

Penerapan pertanian dengan kearifan lokal diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang kerap muncul akibat dari eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan sedangkan pengelolaan hasil hutan bukan kayu mampu memelihara pengetahuan tradisional perempuan adat dan melibatkan peran aktif mereka dalam konservasi wilayah adat.

Dengan meningkatkan pemahaman perempuan mengenai hak-hak mereka atas pengelolaan wilayah adat, harapan besar agar perempuan adat dapat mandiri secara ekonomi serta dilibatkan dalam setiap pengambilan keputusan di tingkat keluarga, komunitas dan birokrasi mengenai pengelolaan wilayah adat menjadi tujuan utama untuk meningkatkan ketahanan dan kesejahteraan masyarakat adat dalam mengatasi perubahan iklim.

 

 

Penandatanganan Berita Acara Kesepakatan Tata Batas Wilayah Adat Antar Desa Belaban Ella, Kabupaten Melawi

Menyadari penting adanya tata batas di wilayah antar desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, aparatur desa Belaban Ella beserta Masyarakat Adat telah  membuat surat permohonan untuk pengakuan Wilayah Adat kepada pemerintah.

Menindaklanjuti surat tersebut, pada 08 September 2020 telah diadakan Penandatangan Berita Acara Kesepakatan Tata Batas Wilayah Adat Antar Desa Belaban Ella.

Kesepakatan disaksikan oleh 76 orang perwakilan undangan termasuk masyarakat adat, tokoh adat, pemuda, perempuan dan Kesatuan Pengelolaam Hutan kabupaten Melawi.

Musyawarah Adat Suku Dayak Kancink Kabupaten Sekadau Untuk Lestarikan Adat dan Budaya

Dilatarbelakangi oleh kekhawatiran hilangnya tradisi dan adat istiadat tradisional, Masyarakat Adat Kacink, Kampung Sarik, Desa Nanga Mongkok, Kecamatan Nangga Taman, Kabupaten Sekadau berinisiatif mengadakan musyawarah adat dan diskusi bersama pada 9 Agustus 2020., beretepatan dengan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia.

Musyawarah adat ini dihadiri oleh masyarakat Adat Kancingk dari berbagai usia dengan tujuan agar terjalinnya komunikasi dan pertukaran ilmu antara generasi tua dan muda. Kegiatan diawali dengan ritual adat oleh para tetua adat dan disaksikan oleh seluruh pemuda yang hadir dalam musyawarah.

Dengan adanya kegiatan musyarawarah ini, masyarakat berharap agar adat istiadat serta tradisi nenek moyang yang sudah lama di lupakan dapat kembali dilestarikan. Masyarakat Adat Kancink juga berencana untuk mendokumentasikan adat istiadat leluhur ke dalam sebuah buku agar dapat membagikan pengetahuan tersebut ke generasi berikutnya.

 

 

Mengenal Ritual Nyangahatn Masyarakat Adat Dayak Kanayant Kalimantan Barat

Sebagai salah satu upaya melestarikan warisan budaya leluhur, Perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia tahun 2020 (HIMAS 2020) di jajaran Pengurus Wilayah AMAN KALBAR diawali dengan ritual adat Nyanghatn.

Ritual adat Nyangahatn merupakan salah satu tradisi budaya yang sering dilakukan oleh suku Dayak Kanayant yang menempati sebagian wilayah di Kalimantan Barat (sebagian besar berada di wilayah Kabupaten Landak). Masyarakat Adat Dayak Kanayant mengadakan ritual Nyangahant untuk menyampaikan permohonan kepada Jubata (Subjek yang Ilahi). Ritual dipinpin oleh seorang Panyangahtn yang akan melantunkan doa-doa secara lisan 9terdengar seperti sedang membaca syair) yang berisi permohonan maupun ucapan syukur.

Sebagai persyaratan, di hapadan Panyangahatn telah disiapkan peralatan ritual seperti: ayam kampung, kapur, sirih, air, poe’ (ketan), tumpi’ (kue tradisional khas dayak Kanayant), Bontongk (nasi yang dibungkus dengan daun), telur, beras, uang dan pelita. Setiap peralatan yang disiapkan memiliki makna filosofisnya masing-masing.

Uapacara Adat Nyangahatn lazimnya dilakukan pada saat siklus berdaladang dimulai, tujuannya untuk meminta berkat pertolongan Jubata agar dibrikan kemudahan dalam berladang (cuaca yang baik, dijauhkan dari hama tanaman) dan mendapatkan hasil panen yang baik. Msayarakat Dayak Kanayant juga rutin melakukan perayaan pesta panen atau dikenal dengan istilah Naik Dango, yang juga akan dibuka dengan ritual Nyangahatn.

Hingga saat ini, Nyangahatn masih sangat lekat dengan kehidupan masyarakat. Biasanya dilakukan untuk ucapan syukur pernikahan, pindah rumah dan kelahiran anak (biasa dikenal dengan istlah basaruk sumangat).

Nyangahatn bagi masyarakat Dayak Kanayant tidak hanyai sekedar ritual adat, lebih dari itu, Nyangahatn adalah semangat memelihara hubungan spiritual dengan alam dan Jubata; sumber pemberi kehidupan.

Peringatan Himas 2020: Aman Kalbar Dorong Implementasi Perda Pengakuan Masyarakat Adat

Peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS 2020), menjadi momentum bersejarah bagi perjuangan Masyarakat Adat di seluruh dunia. Hingga saat ini, perjuangan masih dilanjutkan hingga saat ini.

 

Masyarakat Adat di Kalimantan Barat masih terus berjuang untuk mendapatkan hak mereka, diantaranya hak untuk berladang secara tradisional. Para pengacara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui Perkumpulan Pembela Masyarakat Adat Nasional bersama Dewan Adat Dayak dan advokad lainnya, berjuang  untuk memberikan pendampingan hukum atas kasus peladang tradisional di Kalimantan Barat. Salah satunya, kasus 6 peladang di Kabupaten Sintang yang mendapat putusan bebas oleh Pengadilan Negeri Sintang, pada Maret 2020 lalu.

Gerakan masyarakat adat di Kalimantan Barat juga telah mendorong tujuh Peraturan Daerah tentang pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat; yakni Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Landak, Kabupaten Melawi, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sekadau dan Kabupaten Kapuas Hulu. Implementasi dari mandat PERDA tersebut, adalah telah ditetapkan sebanyak 12 komunitas Masyarakat Adat di Kalimantan Barat melalui Surat Keputusan Bupati, serta sepuluh Surat Keputusan penetapan Hutan Adat oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Kalimantan Barat.

Pada kenyataannya, hingga saat ini masih ada beberapa kabupaten yang  belum mendapatkan pengakuan tersebut, dibuktikan dengan masih adanya beberapa kabupaten yang belum memiliki PERDA tentang Pengakuan dan Perlindugan Masyarakat Adat.  Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa Kapolda Kalimantan Barat telah mengeluarkan maklumat tentang larangan membakar hutan dan lahan yang meresahkan masyarakat peladang. Keresahan dan ketakutan muncul karena adanya masyarakat adat yang di tangkap karena mambakar lahan untuk berladang, seperti yang telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Oleh sebab itu, AMAN KALBAR menyadari, perlunya upaya progresif untuk mempercepat pengakuan Masyarakat Adat di Kalimantan Barat dan terus mendorong pengimplementasian PERDA pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat, melaui penerbitan SK Bupati. Dengan tujuan Masyarakat Adat berdaulat atas Wilayah Adatnya, bebas mengelola tanpa intimidasi sehingga terwujudnya kedaulatan pangan dan menjamin kesejahteraan Masyarakat Adat.

 

 

Pemetaan Partisipatif Wilayah Hukum Adat Desa Upit dan Desa Junjung Permai, Kabupaten Melawi

Masyarakat Adat Desa Upit dan Desa Junjung Permai, Kecamatan Belimbing, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat melaukan pemetaan partisipatif wilayah hukum adat yang diadakan pada 20 Februari 2020 selama satu pekan.

Pemetaan ini dilakukan setelah masyarakat adat menyampaikam surat permohonan kepada Pengurus Besar AMAN. Masyarakat Adat Desa Upit dan Desa Junjung Permai menyadari pentingnya dilakukan pemetaan wilayah untuk masyarakat Adat karena wilayah tersebut kerap menjadi incaran para investor.

Pemetaan Wilayah Adat merupakan program kerja bersama antara AMAN dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang bertujuan untuk mendokumentasikan keberadaan Masyarakat Adat dan Wilayah Adat dalam rangka memperjuangkan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak Masyarakat Adat dan Wilayah Adat mereka.

Pengeboran Tambang Batu Bara di Wilayah Adat Nanga Siyai dan Nyangau, Kabupaten Melawi

Masyarakat  desa Nanga Siyai  kecamatan Menukung dan desa Penahan, kecamatan Ella Hilir, Kabupaten Melawi telah melepaskan lahan untuk pengembangan perusahaan batu bara JNE dan GMS.  Pengeboran telah dimulai pada Februari 2020 dan masih berlangsung hingga saat ini.

Pembangunan telah memasuki proses pengeboran, karena pihak perusahaan sudah mengantongi izin atau rekomendasi dari pihak terkait  untuk melakukan pengeboran. Pengambilan titik koordinat untuk melakukan pengeboran antara satu titik ketitik berikutnya berjarak 50 meter.

Pengeboran tersebut memiliki kedalaman  2 meter, 8 meter, 16 meter ,60 meter hingga 100 meter. Rencananya ada Juli 2020 depan pihak perusahaan akan mendatangkan alat berat di areal dengan luas  berkisar 1.000 hektar  yang akan digarap oleh pihak perusahaan.

Ritual Adat Tolak Bala Suku Dayak Limbai, Kabupaten Melawi

Untuk membantu pemerintah mencegah pandemik Virus Covid-19, Suku Dayak Limbai, Dusun Sungkup, Desa Belaban Ella, Kecamatan Menukung, Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat mengadakan ritual adat tolak bala dan pantangan. Ritual adat yang dijalankan mengharuskan masyarakat menyiapkan banyak hal antara lain: Setiap anggota rumaha harus memotong satu ekor ayam dan harus menyiapkan kaki ayam,tulang leher dan kepala ayam, nasi kopal atau yang ditumbuk dan dicampur dengan kunyit, rompoh/kue kampung yang dibuat seperti buah buahan, gong, kuali, periuk, dan tali gelang tonggang, daun sirih dan rokok, beras kuning yang  dimasukkan kedalam telur ayam, beraneka macam beras, seperti; beras sabur, beras padi dan beras ketan, padi ketan hitan yang dimasak seperti lotik. Nasi kopal dibuat sesuai jumlah jiwa di kampung dan dibagikan kepada seluruh warga kampung yang hadir. Oleh sebab itu, setiap kepala keluarga harus menyiapkan satu canting beras padi dan satu canting beras ketan serta bahan-bahan lainnya.

Barang-barang yang telah disiapkan ini kemudian dimasukkan ke dalam lanting dan dihanyutkan ke sungai, kecuali nasi kopal yang harus dibawa pulang. Pada saat pemandu ritual adat membawa nasi kopal, masyarakat diwajibkan untuk duduk menghadap ke arah matahi terbit. Setelah lanting dihanyutkan, masyarakat harus pulang ke rumah dan kembali mengadakan ritual mengikat tali tongan di rumah masing-masing.

 

Tolak Bala Bepenti’ Masyarakat Dayak Seberuang, Kabupaten Sintang Untuk Tangkal Pandemik Covid-19

Tolak Bala Bepenti’ adalah ritual adat yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Seberuang , Desa Landau Panjang ,Dusun Entajak, Kabupaten Sintang. Proses awal ritual yang dilakukan adalah membentuk  Kayu (kumpang, buah) menjadi berbentuk manusia. Mengapa yang dipilih adalah kayu kumpang atau kayu buah? Kerena kedua jenis kayu ini dianggap memiliki mata, kaki, kepala dan nyawa sehingga menyerupai manusia.

Kayu penti’ ini kemudian diikat menggunakan kain merah dan putih pada bagian kepala dan pinggang. Proses pembuatan kayu dilakukan sehari sebelum upacara adat dimulai. Kayu penti’ yang telah dibuat, tidak boleh dibiarkan begitu saja, harus ada yang menunggunya.

Keesokan harinya ritual adat dimulai. Ritual ini disebut dengan Besampi Sempata kepada Petara Puyang Gana, dengan menggunakan seokor ayam sebagai media perantara Besampi Sempata.

Semua kayu penti’ yang dibuat, mewakili setiap individu di Kampung Entajak. Tujuan ritual ini adalah untuk melindungi setiap orang agar semengat (jiwa) menjadi lebih kuat, nai mudah pedih (tidak mudah sakit) dan terhindar dari pandemik virus covid-19 yang tengah melanda dunia.

Ada pantang dan puasa selama tiga hari, selama ritual dilakukan. Contohnya, masyarakat tidak boleh keluar kampung, tidak boleh memakan makanan yang  mengandung miang (tubuk), tidak boleh menoleh ke belakang saat pulang ke rumah (setelah penanaman penti’/kayu) dan harus ada ritual khusus yang dilakukan jika ada masyarakat yang akan berangkat ke kota.

Tanggapan Ketua Pengurus Daerah AMAN Sintang Terhadap Hasil Sidang Putusan Kasus Peladang di Kabupaten Sintang

Sembilan Maret 2020, merupakan hari yang bersejarah bagi masyarakat adat, terutama para peladang tradisional. Pasalnya 6 orang peladang tradisional yang ditetapkan sebagai terdakwa karhutla di Kabupaten Sintang dinyatakan bebas secara hukum, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sintang.

Ketua Pengurus Daerah AMAN Sintang , Antonios Antong memberikan tanggapannya terhadap putusan tersebut:  “Saya menyambut baik hasil putusan pengadilan negri Sintang dan aksi yang dilakukan masyarakat. Aksi ini merupakan gerakan murni dari masyarakat peladang. Moment yang sangat penting karena ini kasus pertama di Kabupaten Sintang, dimana negara mengkriminalisasi masyarakat peladang”.

Atong juga mengatakan jika beuma (berdalang) merupakan kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu, tujuannya adalah untiuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sejauh ini negara tidak pernah hadir untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat peladang.

Oleh sebab itu, perjuangan tidak cukup hanya dilakukan tanggal 9 maret 2020 saja, tetapi akan terus berlanjut pada kasus selanjutnya. Terdakwa di Sintag dan Bengkayang sudah di nyatakan bebas, namun kasus peladang di Sanggau, Melawi dan Kapuas Hulu masih membutuhkan perjuangan bersama.

Kedepannya diharapkan akan banyak wilayah hutan lindung yang menjadi wilayah adat, sehingga masyarakat adat bisa mengelola lahanya sendiri. Selama ini masalahnya adalah masyarakat adat kebanyakan hidup di kawasan konsensi, sehingga secara hukum negara masyarakat dinyatakan bersalah karena telah membakar lahan.

Selain itu wilayah adat yang belum masuk ke kawasan konsensi, harus tetap di pertahankan menjadi wilayah adat. Pada kenyataannya sangat rancu jika masyarakat memohon untuk memperjuangkan wilayah adat mereka karena masyarakat sudah hidup dan berladang dari ratusan tahun yang lalu. “Ibaratkan kita duduk diatas ikan tapah tapi makai beculit garam”, tegas Atong.