MASYARAKAT ADAT DAYAK IBAN SEMUNYING JAYA AKAN MENGGUGAT PT. LEDO LESTARI DI PENGADILAN NEGERI BENGKAYANG

Bengkayang – Semenjak tahun 2004 lalu, atau sudah 19 tahun lamanya perjuangan Komunitas Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya di Desa Semunying Jaya Kecamatan Jagoi Babang Kabupaten Bengkayang, telah berupaya melakukan perlawanan terhadap PT. Ledo Lestari yang merupakan sebuah perusahaan yang bergerak disektor perkebunan kelapa sawit. Perjuangan yang dilakukan oleh Komunitas Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya, karena Komunitas tersebut ingin mendapatkan kembali hak-hak mereka yang telah dirampas oleh PT. Ledo Lestari secara sepihak atau tanpa ada persetujuan dari Masyarakat Adat dan membuat mereka semakin terpinggirkan ditanah leluhurnya sendiri. Dampak atas kehadiran PT. Ledo Lestari secara nyata dirasakan telah merusak tatanan kehidupan sosial, karena selain membuat mereka kehilangan tanah leluhur atau wilayah adat yang merupakan wilayah kelola dan sumber penghidupan, namun perlawanan yang dilakukan juga telah membuat beberapa orang pejuang Masyarakat Adat yang dahulu pernah menjadi korban kriminalisasi dari proses penegakkan hukum yang buruk yang dilakukan oleh oknum aparat penegak hukum Polres Bengkayang.
Menyadari bahwa masih adanya peluang hukum untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka atas wilayah adat yang selama ini dikuasai atau diduki oleh PT. Ledo Lestari yang telah merampas hak-hak tenurial Masyarakat Adat serta mengancam keberlanjutan masa depan generasi selanjutnya. Pada hari Kamis (07/09/2023), bertempat di Balai Desa Semunying Jaya, Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya yang terdiri dari kaum Perempuan, Anak muda, orang tua, Tokoh adat dan Pemerintah Desa Semunying Jaya, melakukan pertemuan atau konsolidasi advokasi untuk menyusun langkah-langkah hukum yaitu untuk segera melakukan Gugatan secara perdata kepada PT. Ledo Lestari serta beberapa pihak lainnya yang dianggap telah berkontribusi membuat Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya kehilangan tanah leluhurnya. Identifikasi berbagai tantangan, kelemahan serta kendala dalam proses Gugatan juga tidak luput dari pembahasan, namun semuanya telah menjadi catatan penting dan rekomendasi untuk ditindaklanjuti dan perbaiki, sehingga Gugatan yang nanti dilakukan dapat berjalan dengan maksimal.
Dalam pertemuan tersebut, difasilitasi oleh Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Aadat Nusantara Bengkayang (PD AMAN Bengkayang) serta melibatkan lembaga jaringan, yaitu diantaranya Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Region Kalimantan dan Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (PW AMAN Kalbar). Banyak hal telah dihasilkan dalam konsolidasi advokasi tersebut, dan itu semua adalah dalam upaya untuk memastikan bahwa kerja-kerja kolaboratif untuk mendapatkan kembali wilayah adat milik Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya dapat segera dilakukan dan harapannya kondisi kehidupan mereka dapat kembali pulih seperti dahulu yaitu berdaulat atas tanah leluhurnya, sehingga entitas keberadaan Masyarakat Adat Dayak Iban Semunying Jaya akan terlindungi.

#MASYARAKATADAT #RUUMASYARAKATADAT #AMANKALBAR

Penulis : Bobpi Kaliyono, S.H / Biro OKK & Advokasi PW AMAN Kalbar

Editor : Febrianus Kori ( Jurnalis AMAN Kalimantan Barat)

AMAN DAN BPAN WILAYAH KALIMANTAN BARAT MENDORONG PENGAJUAN WILAYAH ADAT BOTUH BOSI

sumber foto : Fransiskus Padma (BPAN KALBAR)

Desa Butoh Bosi Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam agenda pengusulan dan pengajuan wilayah hukum adat Masyarakat Adat Desa Botuh Bosi yang terdiri dari tiga Dusun: Dusun Pendaun, Dusun Belantek dan Dusun Petebang. Dimana setiap dusun mengirimkan utusan yang mewakili masyarakat mengikuti agenda persiapan pengusulan wilayah hukum adat. Dalam musyawarah tersebut memutuskan setiap dusun mendukung penuh serta siap ambil bagian dari penggerak dalam persiapan pengusulan wilayah hukum adat.

Selain itu, wilayah hukum adat menjadi pondasi utama dalam keberlangsungan kehidupan masyarakat adat yang ada di Desa Botuh Bosi. Dengan demikian, memang perlunya pengakuan wilayah hukum adat di Desa Botuh Bosi.

“Sebagai masyarakat adat dimana kebudayaan atau kearifan lokal sudah melekat pada pribadi setiap orang. Seperti nilai Ritual, kebudayaan, kerajinan-kerajiana menjadi bagian dari asal-usul masyarakat adat yang memang perlu di lestarikan. Sehingga, besar harapan pengakuan wilayah hukum adat menjadi bentuk regenerasi atau penerus dari kebudayaan itu sediri. Ujar Fransiskus Meky, kepala Desa Botuh Bosi”.

Hal ini menjadi bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam hal pentingnya pengakuan wilayah hukum adat bagi masyarakat adat. “harapannya pengakuan ini, menjadi aktor utama dalam menemukenali bentuk ritual dan kearifan lokal masyarakat adat. Ujar Mario, tokoh adat dusun Pendaun”.

Dengan demikian, peran BPAN dan AMAN sangat penting dalam membantu masyarakat untuk membuat pengusulan pengakuan wilayah hukum adat. “Kami sangat mendukung dengan adanya gerakan barisan pemuda adat nusantara yang dalam proses ini menjadi jembatan dalam komunikasi antara masyarakat dan AMAN. Ujar Akon. DAMANDA AMAN Ketapang Utara.

Penulis : Fransiskus Padma ( PW BPAN KALBAR)

Editor : Febrianus Kori

Masyarakat Adat Kabupaten Bengkayang Seruduk Kantor DPRD Bengkayang

Sumber foto : Dama Saputra Supin (KETUA PW BPAN KALBAR)

Pemerintah Kabupaten Bengkayang bersama DPRD Kabupaten Bengkayang telah mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) nomor 4 tahun 2019 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Bengkayang. Secara umum, bahwa di Provinsi Kalimantan Barat sudah terdapat 8 Perda di 8 Kabupaten diantaranya Kabupaten Sintang, Kabupaten Landak, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Bengkayang. Dari 8 Perda yang sudah ada, hingga sejauh ini hanya 7 Kabupaten yang sudah mengeluarkan SK Bupati Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. meskipun perda telah ditetapkan, hingga sejauh ini belum ada satupun secara legal formal yaitu SK Bupati Bengkayang yang menetapkan Pengakuan keberadaan Masyarakat Adat di Kabupaten Bengkayang, yang artinya Pemerintahan Kabupaten Bengkayang tidak melaksanakan mandat Perda tersebut maupun mandat pasal 18B Ayat (2) UUD Tahun 1945 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 52 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Dengan adanya Perda nomor 4 Tahun 2019, beberapa komunitas Masyarakat Adat telah mengajukan permohonan kepada Pemerintah Kabupaten Bengkayang (Bupati) untuk mendapatkan SK dari Bupati Kabupaten Bengkayang. Komunitas Masyarakat Adat yang telah mengajukan dokumen usulan permohonan Pengakuan diantaranya Masyarakat Adat Semunying Jaya, Dawar, Sebalos, Tumiang dan Pasti Jaya. Permohonan tersebut telah diajukan pada November tahun 2022 lalu, namun sampai saat ini belum ada respon dari Bupati Bengkayang untuk menindaklanjuti dokumen usulan tersebut. Menyikapi proses untuk mendorong percepatan Pengakuan Masyarakat Adat di Kabupaten Bengkayang, maka pada tanggal 31 Agustus 2023, Masyarakat Adat di Kabupaten Bengkayang yang di damping Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Bengkayang (PD AMAN Bengkayang), Badan Registrasi Wilayah Adat Kalimantan Barat (BRWA Kalbar), Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (PW AMAN Kalbar) dan Pengurus Wilayah Barisan Pemuda Adat Nusantara Kalimantan Barat (PW BPAN Kalbar) melakukan audiensi bertempat di ruang Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Bengkayang yang disambut langsung oleh wakil ketua DRPD Bapak Esidorus,SP dan ketua komisi I Badarudin, SH.

Audiensi tersebut dilakukan karena kekecewaan Masyarakat Adat terhadap Pemerintah Daerah Kabupaten Bengkayang, dimana Masyarakat Adat sudah berkali-kali melayangkan surat meminta untuk audiensi bersama Bupati Bengkayang selaku Kepala Daerah Kabupaten Bengkayang namun tidak pernah di tanggapi dan Audiensi yang dilakukan Masyarakat Adat kepada DPRD Kabupaten Bengkayang untuk menyampaikan aspirasi kepada DPRD sebagai fungsi pengawasan di Kabupaten Bengkayang. Dalam Audiensi tersebut Ada beberapa poin yang menjadi tuntutan Masyarakat Adat kepada DPRD Bengkayang untuk disampaikan kepada Bupati Bengkayang dan OPD terkait selaku implementor dari Perda tersebut antara lain;

  1. Meminta DPRD untuk melakukan tugasnya yang dimana sebagai fungsi pengawasan untuk meninjau sejauhmana Implementasi Peraturan Daerah Kabupaten Bengkayang Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Bengkayang.
  2. Meminta Bupati untuk mengeluarkan SK Panitia Identifikasi, Verifikasi dan Validasi Masyarakat Hukum Adat Kabupaten Bengkayang.
  3. Mendesak Pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk memproses 5 komunitas yang telah menyampikan pengajuan permohonan kepada Bupati Kabupaten Bengkayang.
  4. Meminta pemerintah Kabupaten Bengkayang untuk menijau kembali perijinan yang telah mencaplok dan merampas Hak Masyarakat Adat dan Wilayah Adat di Kabupaten Bengkayang.

Esidorus selaku wakil ketua DPRD Kabupaten Bengkayang menyampaikan ucapan terima kasih kepada Masyarakat Adat yang telah menyampaikan aspirasinya dan DPRD berkomitmen untuk segera memanggil Bupati dan OPD terkait untuk membahas tuntutan yang disampaikan Masyarakat Adat Kabupaten Bengkayang.

#masyarakatadat #ruumasyarakatadat #amankalbar

Penulis : Dama Saputra Supin

Editor : Febrianus Kori

AMAN Kalimantan Barat Melarang Presiden Jokowi menggunakan Busana Adat dalam upacara kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 Tahun.

Penulis Febrianus Kori (Jurnalis AMAN Kalimantan Barat) sumber foto : Tribun News. com

Saat ini Masyarakat Adat menantikan kepastian hukum dari negara untuk memberikan pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Adat yang sampai dengan hari ini masih menjadi korban dalam perampasan wilayah-wilayah adat serta tidak sedikit mendapatkan diskriminasi bahkan kriminalisasi dari pihak-pihak tertentu untuk merebut wilayah adat serta perambahan hutan skala besar-besaran dengan dalih Pembangunan dan pemberdayaan bagi Masyarakat Adat.

Oleh karena itu, menjelang detik-detik perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 Tahun yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 2023, serta melihat bahwa masa kepemimpinan Presiden Republik Indonesia yaitu Bapak. Jokowi akan selesai di tahun 2024 yang akan datang, namun masih banyak janji-janji besar Presiden belum di tepati dan salah satunya adalah memberikan kepastian hukum melalui Undang-Undang Masyarakat Adat yang hingga saat ini masih dalam bentuk Rancangan Undang-Undang (RUU) dan belum ada kejelasan atau tak kunjung disahkan.

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat ini dari tahun 2009 lalu hingga sekarang hanya bolak-balik masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), hal ini menjadi kekhawatiran bagi Masyarakat Adat di seluruh nusantara, ketika mereka tengah berjuang mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara, terutama hak atas wilayah adat beserta sumber daya alamnya, sehingga keberadaan Masyarakat Adat dapat berdaulat dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, secara konstitutional, pengakuan terhadap keberadaan Masyarakat Adat telah dipertegas secara eksplisit dalam Pasal 18B ayat 2 UUD Tahun 1945 yaitu ‘’Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang ’’. Dengan ini maka ada kekuatan yang besar bagi Masyarakat Adat untuk berjuang bersama dalam rangka untuk memastikan bahwa RUU Masyarakat Adat ini dapat disahkan sesegera mungkin.

melihat hal tersebut kami sebagai Masyarakat Adat juga tidak ingin Busana Adat kami hanya di jadikan sebagai simbol atau pelengkap untuk menarik simpati Masyarakat Adat, karena selama moment upacara perayaan hari kemererdekaan Republik Indonesia setiap 17 Agustus, Bpk. Presiden Jokowi selalu menggunakan Busana Adat yang menjadi salah satu ciri khas atau identitas Masyarakat Adat, tapi payung Hukum bagi Masyarakat Adat belum juga di sahkan.

Sumber Foto : Tribun News. com

Penulis Febrianus Kori (Jurnalis AMAN KALIMANTAN BARAT)

Perempuan Adat di Lima Kampung Bergerak dan Bersepakat untuk mendorong pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat

 

Saat ini Perempuan Adat di Lima Kampung di Desa Sekendal Kabupaten Landak Kalimantan Barat bersepakat untuk melakukan percepatan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat hal ini dilakukan sebagai bentuk menjaga wilayah adat dan tradisi yang sudah berlangsung ratusan tahun lalu, Pengakuan dan perlindungan ini adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat adat maka perlu melakukan kerja-kerja bersama.

Kampung Sekendal, Kampung Limpo, Kampung Bareh, Kampung Kelepuk dan Kampung Antajam saat ini sedang mempersiapkan Pengakuan dan perlindungan seperti melakukan Pemetaan Partisipatif dan Pengalian data sosial, ini menjadi unik dan hebat karena Peran Perempuan Adat di sini yang menjadi Pelopor, Pengerak dalam Pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat di lima kampung ini.

Ibu Wadah Adalah salah satu Perempuan Adat yang tinggal di Kampung Limpo dalam keseharian yang menjadi seorang guru di sekolah Dasar dan juga menjadi Anggota Badan Permusyawarah Desa Sekedal serta ketua kelompok Ibu-ibu di Kampung Limpo, memiliki semangat dan bisa dikatakan sebagai pejuang Masyarakat Adat kampung Limpo ditengah kesibukan beliau masih memikirkan bagaimana kampung Limpo dalam mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan dengan mengerakan masyarakat adat di Kampung Limpo untuk melakukan pemetaan  wilayah adat dan pengalian data sosial spasial.

Saat ini Kabupaten Landak telah mendapatkan 3 SK MHA (Surat Keputusan Masyarakat Hukum Adat) dengan luasan wilayah adat 7.700 Ha. Harapanya Kampung Limpo dan Antajam dll menyusul untuk mendapatkan SK MHA tentu dengan menyelesaikan beberapa tahapan menuju pengakuan dan Perlindungan seperti kelengkapan Administrasi Dokumen Data sosial dan spasial dan Peta wilayah adat.

Sebagai tindaklanjut dan mempersiapkan setelah mendapatkan Pengakuan dan Perlindungan Maka Perempuan Adat di Kampung Antajam, Bareh, Sekendal dan Kelepuk serta Engkitip mereka telah memikirkan bagaimana kedepan ketika sudah mendapatkan pengakuan dan perlindungan mereka yang akan berdaulat atas tanahnya dan mengelola sesuai kearifan lokal yang adat. Pendampingan yang di lakukan oleh PW AMAN KLABAR (Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat). Mereka telah mendapatkan pelatihan-pelatihan hingga praktek tentang mengelola Padi, Jagung, Kacang dan sayuran dll, hingga baru-baru ini telah dilaksanakan Sosialisasi Badan Usaha Milik Masyarakat Adat (BUMMA) ini akan menjadi strategi untuk masyarakat adat dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada ketika telah mendapatkan pengakuan dan perlindungan oleh Pemerintah.

Hal yang sama juga disampaikan Oleh Tono selaku (Ketua PJS PW AMAN Kalimantan Barat), Bahwa semua pihak berhak untuk menjaga wilayah adatnya sebagai bentuk rasa memiliki wilayah adatnya dan kami sangat mengapresiasi Perempuan Adat di Lima Kampung yang ada di Desa Sekendal yaitu Kampung Sekendal, Limpo, Antajam, Bareh dan Kelepuk. karena mereka menjadi pengerak Masyarakat di Kampung-kampung untuk bergerak dalam mendapatkan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

#amankalbar #masyarakatadat #ruumasyarakatadat

 

Sumber : PW AMAN KALBAR

Penulis : Febrianus Kori

BARISAN PEMUDA ADAT NUSANTARA LEBARKAN SAYAP DI KETAPANG UTARA

Oleh Kurnianto Rindang

PW AMAN KALBAR, KETAPANG – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) lebarkan sayap di Ketapang Utara dengan menggelar Jambore Daerah I di Desa Paoh Concong, Gedung Serba Guna Bunda Maria Stasi Kelipor. Jumat, 07 – 09 Juli 2023.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara PN BPAN dengan PW BPAN Kalbar dan PD AMAN Ketapang Utara. Selain para peserta Jamda. turut hadir Pengurus Nasional (PN) BPAN Febrianus Kori, para pengurus wilayah BPAN Kalbar bersama Ketua PW BPAN KALBAR Dama Saputra Supin, Ketua AMAN Ketapang Utara Abel, Tokoh Adat, Tokoh Pemuda serta Perempuan Adat.

Dalam sambutannya Supin Menjelaskan Barisan Pemuda Adat Nusantara merupakan organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dimana BPAN berfungsi sebagai wadah berhimpunnya pemuda-pemudi adat nusantara yang merasa senasib, sepenanggungan, seperjuangan dan setujuan.

“Kita harus pahami bersama kenapa BPAN ini terbentuk. BPAN terbentuk karena adanya ketidak adilan terhadap masyarakat adat yang secara khusus berdampak terhadap pemuda adat. Sadar akan perlu adanya kekuatan yang tangguh, Pemuda Adat yang pada hakikatnya adalah generasi penerus masyarakat adat yang berjuang bersama para pendukungnya yang senasib sepenanggungan, bertekad bulat untuk mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya dengan terus-menerus memberdayakan diri di bidang sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum,” Tutur Supin.

Sementara itu Ketua PD AMAN Ketapang Utara Abel menuturkan bahwa masyarakat adat di Ketapang Utara sangat memerlukan dukungan dan gerakan dari para pemuda adat dalam memperjuangkan serta mempertahankan hak-hak masyarakat adat.

“Kita semua tahu betul bahwasanya Masyarakat Adat di Ketapang Utara saat ini situasinya sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu, saya sangat berterimakasih karena telah dibentuknya BPAN Ketapang Utara ini. Semoga dengan adanya BPAN ini, gerakan dan advokasi-advokasi kita untuk masyarakat adat semakin berdampak dalam upaya untuk mempertahankan dan memperjuangkan hak-hak masyarakat adat yang saat ini terancam dirampas,” paparnya.

Lebih lanjut Febrianus Kori menambahkan bahwa BPAN organisasi adalah milik bersama bukan satu golongan, dan gerakannya harus beriringan.

“Saya perlu sampaikan kepada kita semua bahwa, BPAN ini organisasi milik bersama, jadi bukan milik satu golongan ataupun suku tertentu. BPAN ini mempunyai tujuan yang mulia yakni, bagaimana upaya kita Pemuda Adat mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat yang saat ini dipandang sebelah mata sebagai masyarakat yang primtif, tertinggal bahkan dianggap kolot. Maka dari itu gerakan kita tidak bisa hanya individu tetapi kerjasama dan saling beriringan agar apa yang ingin kita capai benar-benar bisa terwujud. Jika hal tersebut bisa kita laksanakan, maka gerakan yang selama ini kita gelorakan yaitu Mengurus, mengelola dan mempertahankan wilayah adat niscaya bisa kita lakukan, Pungkasnya.

Setelah sambutan-sambutan, JAMDA I BPAN Ketapang Utara tersebut dilanjutkan dengan Musyawarah Mufakat. Dalam keputusannya, disepakatilah saudara Fransiskus Siswanto Elo atau yang akrab disapa Elo untuk menjadi Ketua BPAN PD Ketapang Utara kurun waktu 4 tahun kedepan.

“Terimakasih kepada kita semua karena telah percaya kepada saya untuk menjadi Ketua BPAN PD Ketapang Utara ini. Menjadi seorang ketua bukanlah tanggung jawab yang mudah, maka dari itu saya mohon bimbingan dan masukan dari Bapak, Ibu serta rekan-rekan semua selama menjabat ketua di BPAN Ketapang Utara ini. Saya beserta rekan-rekan pengurus nantinya akan berusaha semaksimal mungki dalam menjaga dan mengelola wilayah adat, serta berjuang untuk membela dan mempertahankan hak-hak masyarakat adat, ucap Elo sembari mengakhiri seluruh rangkaian kegiatan JAMDA I BPAN Ketapang Utara tersebut.

***

Penulis Adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

TERPILIH MENJADI KETUA, ANDRI SIAP KIBARKAN PANJI-PANJI BPAN DI KABUPATEN BENGKAYANG

Oleh Kurnianto Rindang

AMAN KALBAR, BENGKAYANG – Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Barat laksanakan Jambore Daerah I untuk membentuk Pengurus Daerah (PD) BPAN di Kabupaten Bengkayang. Jumat, 30 – 01 Juni 2023.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara PW BPAN Kalimantan Barat, PW AMAN Kalimantan Barat dan PD AMAN Bengkayang. BPAN adalah organisasi sayap dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). BPAN berfungsi sebagai wadah berhimpunnya pemuda-pemudi adat nusantara yang merasa senasib, sepenanggungan, seperjuangan dan setujuan.

Selain peserta JAMDA, turut Hadir dalam kegiatan tersebut, Perwakilan Pengurus dari PW AMAN Kalbar Tono, Ketua PD AMAN Bengkayang Nico Andas Putra, Biro OKK AMAN Bengkayang Tias, Pengurus Nasional BPAN Febrianus Kori dan Ketua BPAN Kalbar Dama Saputra Supin.

Dalam sambutanya, Ketua PD AMAN Bengkayang memaparkan bagaiamana situasi masyarakat adat di Kabupaten Bengkayang.

“saat ini memang kondisi masyarakat adat di Kabupaten Bengkayang sedang mengalami situasi yang tidak baik-baik saja. kita bisa lihat beberapa kasus atau konflik yang dialami masyarakat adat dengan pihak perusahaan, membuat posisi masyarakat adat semakin terpinggirkan. Konflik ini bisa saja terus terjadi dan bahkan semakin memuncak ketika tidak adanya atau belum maksimalnya keterlibatan pemuda di dalam komunitas, Ujarnya”.

Lebih lanjut nico menyampaikan pemuda sebagai generasi penerus dan calon pemimpin harus mampu terlibat aktif dan berperan dalam menjawab persoalan yang ada.

“Untuk menyikapinya, pemuda yang notabene adalah generasi penerus dan calon pemimpin  harus mampu menjawab berbagai persoalan-persoalan yang terjadi di komunitas masyarakat adat dengan sebuah tindakan nyata. Salah satunya, terlibat aktif dalam upaya mempertahankan wilayah adat dari segala pengerusakan dan ancaman oleh industri-industri ekstraktif, Pungkasnya.”

Sementara itu Ketua BPAN Kalbar Supin menyampaikan bahwa anggota BPAN adalah pemuda-pemudi adat yang berusia dari 15 sampai 30 tahun yang berasal dari komunitas Masyarakat Adat serta terdaftar sebagai anggota BPAN. Supin juga menambahkan pemuda adat Nusantara adalah generasi penerus yang sadar bahwa hak-haknya sebagai masyarakat adat sepenuhnya ada diwilayah adat.

“untuk itu saya sampaikan, terus perkuat barisan, perluas solidaritas dengan pemuda dan masyarakat lainnya dalam menjaga wilayah adat dan bumi,” Tuturnya.

JAMDA I Bengkayang tersebut dihadiri oleh 56 Pemuda Adat yang berasal dari Komunitas Semunying Jaya, Baremada, Sebalos, Dawar, Sempayuk, Sekaruh, Tumiang dan Komunitas Pasti Jaya. Dalam keputusan musyawarah mufakat, saudara Andri disepakati untuk menjadi Ketua Barisan Pemuda Adat Nusantara Bengkayang untuk 4 Tahun Kedepan.

“Pemuda Adat harus berupaya mempertahankan kearifan lokal dan kekayaan-kekayaan Sumber Daya Alamnya, dan tentunya pula harus berupaya meningkatkan kapasitasnya guna menjawab tantangan kedepan tersebut. Salah satu upaya upaya peningkatan kapasitas dapat dilakukan dengan terlibat aktif dalam Organisasi Kepemudaan, diantaranya ialah terlibat dalam Organisasi Barisan Pemuda Adat Nusantara, Ucap Andri sekaligus mengakhiri rangkaian kegiatan JAMDA Tersebut.”

***

Penulis Adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

BPAN KALBAR GELAR PENINGKATAN KAPASITAS PEMUDA ADAT

Oleh Kurnianto Rindang

PW AMAN Kalimantan Barat, KETAPANGBPAN PW Kalimantan Barat gelar Peningkatan Kapasitas Pemuda Adat di Gedung Serba Guna Bunda Maria Stasi Kelipor. Sabtu, 07 – 09 Juli 2023.

Kegiatan ini merupakan kerjasama antara BPAN dengan Penabulu Foundation. Selain para peserta, turut hadir Ketua PW BPAN KALBAR Dama Saputra Supin, Ketua AMAN Ketapang Utara, Ketua Adat Kelipor, Para Tokoh Masyarakat dan Perempuan adat.

Salah seorang tokoh masyarakat kelipor Lorensius Kayan berharap pemuda adat mendapat pengetahuan dan keterampilan baru dalam upaya menjaga dan mengelola wilayah adat.

“saya berharap dengan adanya kegiatan peningkatan kapasitas ini,  pemuda adat di daerah Ketapang Utara ini mempunyai wawasan dan keterampilan yang menunjang mereka sebagai bekal untuk menjaga dan mengelola wilayah adat” Pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Pengurus Wilayah BPAN Kalbar, Dama Saputra supin dalam sambutannya menyebut bahwa peningkatan kapasitas ini sengaja dilaksanakan di ketapang utara, supin memandang ketapang utara memiliki potensi pemuda yang sangat aktif. bisa dilihat bahwa pemuda adat disini dari sejak dulu sudah bergerak menjaga wilayah adatnya. Atas dasar tersebut kita dari BPAN memandang perlunya pendampingan seperti peningkatan kapasitas yang saat ini dilaksanakan.

“Semoga dengan adanya peningkatan kapasitas ini teman-teman pemuda adat lebih bersemangat lagi dalam menjaga dan mengelola wilayah adatnya,” Ujarnya.

Dalam kegiatan peningkatan kapasitas pemuda adat itu, turut menjadi pemateri Febrianus Kori Pengurus Nasional BPAN, Bobpi Kaliyono, SH selaku Biro OKK AMAN Kalbar dan Plorenthina Dessy selaku Pendiri Sekolah Adat Arus Kualan.

Dalam paparannya febrianus kori menyampaikan bahwa perkembangan teknologi saat ini harus dimanfaatkan pemuda adat sebagai media untuk melestarikan tradisi dan budaya.  Jika kita sebagai pemuda adat tidak bisa memanfaatkan teknologi ini sebagi media untuk melestarikan adat dan budaya maka 20 tahun kedepan kita akan kehilangan identitas kita sebagai masyarakat adat.

“manfaatkan kemajuan teknologi saat ini untuk melestarikan adat dan budaya kita, tulis setiap cerita dan sejarah asal usul  yang ada dikampung kita, dokumentasikan segala permainan tradisional, tanaman obat-obatan tradsional, segala jenis kayu serta semua hal yang berkaitan erat dengan masyarakat adat. jangan sampai kita kehilangan identitas dan jati diri kita sebagai maasyarakat adat,” paparnya.

Kemudian Plorenthina Dessy yang merupakan pendiri dari Sekolah Adat Arus Kualan ini menegaskan bahwa. Setiap Pemuda adat itu memiliki kemampuan serta potensi yang dapat dipergunakan dalam upaya Mengelola, menjaga dan melstarikan wilayah adat serta pengetahuan tradisional yang ada.

“kita sebagai pemuda harus percaya diri dan bangga sebagai masyarakat adat. kalian memiliki kemampuan dan keahlian. Petakan potensi dan kemampuan yang ada, pergunakan untuk kelestarian wilayah adat dan pengetahuan tradisional masyarakat adat,” ujarnya.

Sementara itu, bobpi kaliyono yang juga merupakan seorang pengacara tersebut menyampaikan bahwa, pemuda adat sebagai agen perubahan memiliki peranan penting dalam upaya mendorong komunitas adat yang ada dikampungnya agar mendapat Pengakuan dan Perlindungan dari Pemerintah ataupun Negara supaya tidak ada lagi masyarakat adat yang didiskriminasi dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak-haknya sebagai masyarakat adat.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat dari Kalimantan Barat

AMAN dan BPAN Kalimantan Barat: PT. Mayawana Persada Segera Angkat Kaki dari Wilayah Adat Kami

Oleh Kurnianto Rindang

Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Barat mengecam banyaknya aksi perampasan wilayah adat yang dilakukan sejumlah perusahaan, yang disertai diskriminasi terhadap Masyarakat Adat di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

AMAN Kalbar dan BPAN Kalbar merilis sejumlah kawasan wilayah adat yang dirampas. Diantaranya, Tonah Colap Torun Pusaka milik Masyarakat Adat Benua Kualan Hilir yang kini telah dirampas oleh perusahaan yang bernama PT. Mayawana Persada.

Tonah Colap Torun Pusaka atau yang disebut wilayah adat milik Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir ini mencakup Bukit Serangkang seluas 1600 hektar, Bukit Sabarbubu seluas 1200 hektar, dan Bukit Tunggal seluas 850 hektar.

Fransiskus Padma, pengurus BPAN Kalimantan Barat menyatakan kawasan wilayah adat selalu dijaga dan dilindungi oleh Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir, namun kini telah dirampas oleh Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Mayawana Persada. Akibatnya, Masyarakat Adat terancam kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam di Tanah Colap Torun Pusaka yang telah mereka jaga dan lindungi sejak dulu.

“Saat ini, Masyarakat Adat Kualan Hilir berada dalam tekanan hebat, seiring dengan meningkatnya penetrasi kepentingan kapital dalam bungkus berbagai macam proyek atas nama investasi yang dijalankan oleh PT. Mayawana Persada,” ungkap Fransiskus Padma.

BPAN Kalimantan Barat meminta kepada PT. Mayawana Persada agar memperhatikan kesepakatan yang telah dibuat masyarakat melalui Lembaga Pemangku Adat Benua Kualan Hilir. Selain itu, PT Mayawana Persada juga harus menghargai segala bentuk kearifan lokal Masyarakat Adat Kualan Hilir dan dengan segera menghentikan segala bentuk kegiatan proyek di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka.

“Stop semua kegiatan PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Kita minta mereka segera angkat kaki dari tanah leluhur,” tegasnya.

Padma menjelaskan bahwa sebelumnya, sudah pernah dilaksanakan penyelesaian perkara sengketa lahan dengan acara adat di gedung Serbaguna Gensaok pada tanggal 11 Mei 2020. Acara adat tersebut dihadiri pejabat Kepala Desa Kualan Hilir, Dewan Adat Dayak Simpang Hulu, dan Perwakilan Petinggi Adat dan Manajemen PT. Mayawana Persada. Acara tersebut menghasilkan kesepakatan antara Masyarakat Adat dengan PT. Mayawana Persada.

“Hasil kesepakatannya, lahan dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” ujar Padma.

Dikatakannya, masyarakat juga sudah pernah mengirimkan surat pemberitahuan kepada pihak perusahaan dengan bunyi mereka menolak dan tidak menerima kehadiran PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Namun, perjanjian dan surat pemberitahuan tersebut tidak diindahkan oleh PT. Mayawana Persada. “Mereka tetap merampas wilayah adat kami,” sambungnya.

Menurut Padma, tindakan PT. Mayawana Persada telah melewati batas. Wilayah adat yang telah mereka lindungi dan jaga sejak lama, justru dirampas oleh perusahaan tersebut. “BPAN mengecam segala bentuk aktivitas perampasan wilayah adat,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat, Dominikus Uyub bahwa masuknya perusahaan PT Mayawana Persada ke kawasan Tonah Colap Torun Pusaka menjadi malapetaka bagi komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir.

Dikatakannya, perusahaan PT Mayawana Persada secara sepihak menguasai dan menghancurkan wilayah adat di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka yang berakibat muncul konflik. Padahal, selama ini kawasan tersebut dijaga oleh Masyarakat Adat secara turun temurun. “Kawasan wilayah adat tidak boleh diganggu atau dirusak untuk kepentingan industri apapun,” ujarnya.

Dominikus mengatakan rusaknya wilayah adat di sekitar kawasan Tonah Colap Torun Pusaka atas ekspansi PT Mayawana Persada menimbulkan persoalan sosial baru dan rusaknya ekologi, serta menghancurkan atau menghilangkan entitas Masyarakat Adat atas wilayah adat.

Untuk itu, katanya, pemerintah harus menindak tegas PT Mayawana Persada yaitu dengan mencabut izinnya karena diduga telah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wilayah Adat Penyangga Kehidupan

Wilayah adat sebagai penyangga kehidupan, memiliki fungsi yang sangat besar dalam menentukan keberlanjutan makhluk hidup yang ada di bumi, sehingga kelestariannya harus selalu di jaga dalam setiap perkembangan zaman. Namun faktanya saat ini, upaya-upaya dalam menjaga kelestarian wilayah adat telah terhalangi oleh aktivitas ekspansi industri ekstraktif seperti yang dilakukan PT Mayawana Persada.

“Mereka telah secara nyata mengeksploitasi wilayah adat dan segala sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, dengan dalil untuk pembangunan,” tuturnya.

Menurutnya, semakin masifnya pengambil alihan secara paksa, penghancuran serta kapitalisasi wilayah adat bertolak belakang dengan spirit yang diperjuangkan oleh dunia Internasional terkait aksi kolektif bagi setiap negara untuk menekan laju degradasi dan deforestasi hutan. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis dalam menghadapi perubahan iklim yang saat ini telah menjadi bencana Internasional.

Oleh karena itu, kata Dominikus, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menyepakati, baik itu resolusi, konvensi serta deklarasi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan mengevaluasi investasi yang ada di dalam negeri, terkhususnya pengusahaan di sektor kehutanan atau lingkungan hidup.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

AMAN KALBAR Tegaskan Aktivitas Berladang Merupakan Kearifan Lokal

Kepala Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN Kalbar), Bobpi Kaliyono

Kepala Biro Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalimantan Barat (AMAN Kalbar), Bobpi Kaliyono, menegaskan bahwa berladang bukan tindakan melawan hukum. Ia mengatakan, bahwa aktivitas berladang justru adalah sebuah kearifan lokal yang dilindungi oleh Undang-Undang.

“Karena merupakan kearifan lokal yang dilindungi oleh Undang – Undang, sehingga tidak boleh ada kriminalisasi terhadap peladang,” ujarnya.

Bobpi pun kemudian menjadikan momen di mana 6 orang peladang dari Kabupaten Sintang yang diputus bebas tahun lalu (9/3/2020) sebagai cerminan kebangkitan peladang di Nusantara yang sudah semestinya bebas dari kriminalisasi. 6 peladang tersebut diputus bebas setelah tidak secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana oleh hakim Pengadilan Negeri Sintang. .

Kala itu, kasus bermula ketika 6 orang peladang membakar lahannya sendiri untuk keperluan menanam padi, kemudian mereka ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak Kepolisian Resort Sintang (Polres Sintang) pada pertengahan Agustus 2019.

Mereka ditangkap, karena diduga sebagai pelaku yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di sekitar areal yang dijadikan sebagai lokasi untuk berladang.

“Padahal temuan di lapangan bahwa lokasi yang terbakar tidak melebihi 2 hektar,” kenang Bobpi.

Keenam peladang tersebut sempat didakwa melanggar 3 Undang-Undang sebelum dinyatakan bebas, yakni Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

“Kejadian penangkapan tersebut merupakan preseden yang buruk atas penegakkan hukum di Indonesia, yang dimana aktivitas berladang merupakan sebuah kearifan lokal yang telah dilindungi dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tegas Bobpi.

Bobpi menambahkan aktivitas berladang selain untuk menjaga sumber ketahanan pangan, juga untuk menjalankan sebuah tradisi turun temurun serta entitas diri sebagai bagian dari kelompok bangsa.

Dalam Putusan Hakim Pengadilan Negeri Sintang atas perkara 6 orang Peladang tersebut, pada intinya mempertegas bahwa berladang adalah bagian dari kearifan lokal dan dilindungi berdasarkan Pasal 69 Ayat (2) UU RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Maka para peladang yang tetap membuka lahan dengan cara membakar, seharusnya tidak boleh dikriminalisasi, melainkan harus diberikan pendampingan baik dari tetua adat maupun dari pemerintah dalam upaya untuk menyelaraskan pengetahuan kekinian dengan kearifan lokal, sebagai kunci penyelesaian masalah yang dilakukan oleh para peladang,” sambung Bobpi.

Untuk menghindari kembali kriminalisasi terhadap peladang, maka pasca putusan bebas tersebut Bobpi berharap bisa menjadi pembelajaran bagi kepala daerah di seluruh Indonesia untuk segera membentuk produk hukum daerah, salah satunya melalui Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan dan Perlindungan Peladang Tradisional.

“Hal tersebut perlu dilakukan dalam rangka untuk menjamin dan memastikan agar para peladang dapat berdaulat atas kearifan lokalnya,” pungkasnya.

AMAN Kalbar Tegaskan Aktivitas Berladang Merupakan Kearifan Lokal