Budidaya Gula Aren menjadi penghasilan utama Masyarakat Adat di Komunitas Binua Samih II !!

Bertempat di komunitas Binua Samih II tepatnya di kampung Moncok yang dihuni oleh Masyarakat Adat Dayak Kanayatn Bahasa Ba Ahe. di Desa Agak, Kecamatan Sebangki, Kabupaten Landak, Provinsi Kalimantan Barat Pada tanggal 02 Agustus 2025.

Kampung Moncok merupakan salah satu anggota dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara ( AMAN ) di PD AMAN Landak, yang tergabung pada Tahun 1999.

Wilayah adat yang di kelilingi oleh perbukitan dan berada di dataran tinggi membuat mereka terhindar dari bencana banjir, namun tidak terhindar dari Perkebunan Kelapa Sawit.

Ditengah adanya perubahan ruang-ruang kelola masyarakat adat di wilayahnya seperti area berladang, menanam sayur, area berburu karena masih banyak hewan-hewan liar berkeliaran menggangu Ladang dan kebun milik masyarakat.

Sumber Foto : Febrianus Kori (saat melihat pohon aren pada bulan Agustus 2025)

Budidaya Gula aren secara tradisional Adalah tradisi kami masyarakat adat !!

Pepen, Merupakan pemuda adat yang masih meneruskan budidaya Gula Aren secara tradisional yang sudah dilakukan puluhan tahun lalu dari orang tua mereka.

‘’Budidaya Gula Aren yang saya lakukan saat ini merupakan titipan dari orang tua saya, ini telah mereka lakukan seja saya masih kecil, dan bahkan saya belum lahir, ayah saya sudah melakukanya’’

Disini Masyarakat awalnya melakukab Budidaya Gula aren di wilayahnya masing-masing, namun beberapa wilayah tersebut sudah berubah menjadi area kebun kelapa sawit’’

Pepen juga mengungkapkan rata-rata Masyarakat adat di kampung Moncok masih melakukan Budidaya Gula Aren sebagai penghasilan utama dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari’’

Satu gula aren dihargai Rp. 40.000/batang, reta- rata dalam satu hari kami bisa mendapatkan 5-7 Batang ( air gula aren yang sudah di catak), artinya sekitar Rp. 250.000, – Rp. 350.000./hari.

Jika memiliki pohon Aren banyak tentu hasilnya juga akan banyak, ini cukup membantu kami dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. 02/08/2025.

 

Sumber Foto : Febrianus Kori (saat melihat pohon yang masih tersisa di Kampung Moncok pada bulan Agustus 2025)

 

Ruang hidup dan kolaborasi pengelola Gula Aren

Riska, selaku Masyarakat adat yang juga berkerja di Pemerintahan Desa Agak, saat melakukan diwawancarai dirumahnya pada tanggal 2 Agustus 2025.

Ungkapnya’’ bahwa pekerjaan Masyarakat adat dalam mengelola budidaya gula aren yang dilakukan di beberapa kampung merupakan kegiatan yang membantu Pemerintahan Desa dalam melakukan inventarisir kegiatan-kegiatan masyarakat di Desa.

Hal ini menjadi acuan kami dalam menyusun Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPD) untuk memastikan bahwa program-program bisa dimanfaatkan bagi masyarakat dan berkerjasama dengan pihak lainya.

Pada tahun 2024 mereka yang masih menerapkan budidaya Gula aren di beberapa kampung difasilitasi oleh Pemerintan Desa Agak untuk diberikan Pelatihan untuk menambah informasi dan meningkatkan kapasitas masing-masing’’ 02/08/2025.

Berdaulat atas wilayah adatnya !!

Mahadi, yang merupakan Timanggong / Kepala Wilayah Adat ( Penyelesaian konflik Wilayah Adat, mengurusi adat Kelahiran, Pernikahan dan Kematian ), saat berada di kediamannya juga berpendapat bahwa’.

Sumber Foto : Masyarakat Kampung Moncok ( Tempat pembuatan Gula Aren secara Tradisional )

‘’ mereka yang masih menjalankan pengelolaan budidaya gula aren secara tradisional ialah memiliki kepedulian dalam menjaga dan melestarikan kehidupan Masyarakat adat sesungguhnya dalam berdaulat atas wilayah adatnya’’

Puluhan tahun mereka lakukan untuk mendapatkan hasil untuk kehidupan sehari-hari. Disisi lain  mereka yang masih memilik pohon enau (aren) mereka masih memiliki tanah yang luas pohon besar yang banyak’.

Justru mereka yang tidak mengelola itu, mereka kehilangan tanah bahkan untuk tempat tinggal mereka harus membeli atau tukar guling dengan barang. Hal ini menjadi masalah tersendiri bagi kami di kampung ini.

Pengelolaan gula aren yang dilakukan oleh beberapa Masyarakat adat di kampung ini, menjadi penyeimbang lingkungan, mengurangi penebangan hutan secara besar-besar serta mencegah penyerahan lahan kepada Perusahaan untuk ditanami kelapa sawit’’.

Mahadi, juga menyampaikan berapa tahun terakhir harus mengurusi konflik-konflik wilayah adat, perampasan wilayah adat, konflik sosial seperti pencurian dan perkelahiaan.

Iya manyampaikan bahwa dengan adanya perusahan kelapa sawit PT. Satria Multi Sukses (SMS) dan PT. Citra Niaga Perkara (CNP) selain memberikan pekerjaan kepada Masyarakat lokal, juga menciptakan konflik-konflik baru di pranata sosial Masyarakat seperti maraknya perkelahian antar sesama karyawan, air sungai tercemar mengakibatkan ikan mati dan lainya.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *