Penulis : Febrianus Kori ( Aktivis AMAN Kalimantan Barat )

Sejak penetapan proyek pemindahan Ibu Kota baru Indonesia di pulau Kalimantan yang dibungkus dengan kalimat agar adanya pemerataan Pembangunan bagi Masyarakat Indonesia terkhusus masyarakat di Kalimantan justru perencanaan sendiri dilakukan secara sentralistik di jakarta dan tidak melibatkan masyarakat lokal.

Diketahui bahwa Kalimantan Timur merupakan satu diantara provinsi yang ada di pulau Kalimantan, disinilah pusat Pembangunan Ibu Kota Nusantara akan di mulai. untuk memuluskan pembangunan Ibu Kota Negara dalam empat tahun terakhir negara melalui Pemerintah (Presiden dan pejabat setingkat Menteri) mengeluarkan sedikitnya 16 regulasi atau aturan untuk melegitimasi pembangunan, mulai dari Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Otorita hingga Peraturan Gubernur dan Peraturan kepala daerah lainya.

Tidak hanya lewat regulasi pemerintah juga memberikan fasilitas pengurangan pajak, perpanjangan Hak Guna Bangunan ( HGB) selama dua kali 80 tahun dan Hak Guna Usaha (HGU) selama 190 tahun, Kepala Negara (Presiden) juga memberikan ruang yang lapang kepada pihak luar sebagai investor maupun tenaga kerja untuk menjadi bagian dari Pembangunan IKN.

Pulau Kalimantan yang merupakan rumah kehidupan Masyarakat Adat semakin hari semakin memburuk dari deforestasi, pembabatan hutan sekala besar oleh perusahan baik perkebunan kelapa Sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), Tambang dan di tambah Pembagunan Ibu Kota Nusantara yang mengunakan luas Kawasan sekitar 256.142 Ha dalam Undang Undang yang di dalamnya terdapat kawasan inti Pemerintah, kurang lebih 56.180 Ha. Dari Kawasan inti ada dua pemukiman Masyarakat adat yaitu Kelurahan Sepaku dan Kelurahan Pemaluan, Kabupaten Penajam Paser Utara.

Masyarakat Adat Suku Balik yang hidup dan tinggal disini sebelum adanya rencana Pembangunan Ibu Kota Nusantara bahkan sebelum adanya negara mereka sudah ada sini, kini mereka mengalami kejahatan maladminitrasi, kehilangan hak perdata atas tanah bahkan hak asasi-nya. Akibat terhentinya pelayanan permohonan surat keterangan tanah dan pendaftaran di desa dan dampaknya juga pada penghentian urusan pertanahan oleh pemerintah.

Jika melihat kondisi lingkungan Kalimantan sendiri sudah rusak oleh industri ekstraktif, Perusahan Kelapa Sawit, HTI dan bermacam ragam usaha yang dilakukan oleh investor dan negara untuk menggali sumber daya alam tanpa melihat dampak dari hal tersebut, Kalimantan yang tadinya di kenal sebagai Paru-paru dunia tinggal nama dan dikubur oleh beton-beton penghancur Bumi di Ibu Kota Negara.

Akibat dari pembangunan Mega Proyek di Kalimantan yang paling merasa dampak ialah Masyarakat adat yang tentu ada di area Kawasan-kawasan tersebut contohnya di Kalimantan Barat perencanaan pembanguan Pembangkit Listerik Tenaga Nuklir, Konflik antara masyarakat adat dengan perusahan perkebunan kelapa Sawit di Kalimantan Tengah sampai memakan korban Masyarakat Adat yang menuntut haknya, Rencana hilirisasi Tambang di Kalimantan Selatan tepatnya di Gunung Meratus, di Kalimantan Utara pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang akan menengelam 3 Kecamatan diantara Kecamatan Pesok, Pesok Hilir, Penjung Palas Barat, Tanjung Palas dan Tanjung Selor. Kini adanya Pembangunan IKN membuat Masyarakat Adat semakin terdesak dan terhimpit dari tanahnya sendiri.

17 Agustus merupakan Stopwatch pengingat bagi Bangsa Indonesia untuk memperingati hari Kemerdekaan berdirinya Bangsa Indonesia. Bapak sang proklamator Ir. Soekarno pernah berkata ‘’ perjuangan lebih mudah mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karna melawan bangsamu sendiri’ hal ini mengingatkan kembali bahwa semua yang tinggal di Negara ini harus saling menghormati, dilindungi, dan disejahterakan oleh negara. Namun kini sebaliknya. Masyarakat Adat ada sebelum negara ada, mereka yang membantu mendirikan negara ini, membantu merawat ekologis negara, kesatuan dan persatuan negara, kini mereka harus diusir dari Tanahnya sendiri yang terjadi di mana-mana Masyarakat Adat Suku Balik di Ibu Kota Nusantara contohnya.

Negara seolah tergesah-segasah dalam mempersiapkan upacara hari perayaan upacara 17 Agustus tahun 2024 dilaksanakan di Ibu Kota Nusantara, semua dikerjakan seperti petir menyambar pohon, semua dipaksa kerja rodi seperti di jaman Jepang, yang tidak sanggup di singkirkan. Seolah semua mata melihat pemerintah dalam mempersiapkan upacara yang akan di pimpin langsung oleh Presiden Republik Indonesia, bahkan 2 minggu sebelumnya Presiden Jokowi telah berada di lokasi untuk memastikan persiapan.

Foto : Generasi muda Masyarakat Adat Dayak Iban di Sungai Utik

Lalu bagaimana dengan Masyarakat Adat di Kalimantan? Dan untuk siapa sebenarnya Pembangunan IKN ? Apakah Masyarakat adat sudah merasakan kemerdekaan sesungguhnya di tanah sendiri, jawabanya Tidak. Walaupun upacara pelaksanaan upacara hari kemerdekaan dilaksananakan di Kalimantan itu merupakan pesta Oligarki Lokal, Nasional dan Global bukan bagi Masyarakat Adat. Masyarakat Adat seperti menjadi penonton di tanahnya sendiri, hanya sedikit dilibatkan dalam semua proses dari perencanaan, implementasi sampai pada struktural kelembagaan Otorita IKN.

maka Pembanguanan IKN bagi Masyarakat Adat di Kalimantan hanya seperti Matahari yang memancarkan Cahaya kehancuran bagi Hutan dan isinya, Pemusnahan terstruktur bagi adat dan tradisi local dan pembungkan bagi Masyarakat adat.

 

Sumber : Jaringan Advokasi Tambang, #Bersihkan Indonesia, Pusat Studi Hukum Perempuan dan Anak, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Perempuan AMAN. TempoNews.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *