Oleh Kurnianto Rindang

Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) Kalimantan Barat mengecam banyaknya aksi perampasan wilayah adat yang dilakukan sejumlah perusahaan, yang disertai diskriminasi terhadap Masyarakat Adat di Desa Kualan Hilir, Kecamatan Simpang Hulu, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.

AMAN Kalbar dan BPAN Kalbar merilis sejumlah kawasan wilayah adat yang dirampas. Diantaranya, Tonah Colap Torun Pusaka milik Masyarakat Adat Benua Kualan Hilir yang kini telah dirampas oleh perusahaan yang bernama PT. Mayawana Persada.

Tonah Colap Torun Pusaka atau yang disebut wilayah adat milik Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir ini mencakup Bukit Serangkang seluas 1600 hektar, Bukit Sabarbubu seluas 1200 hektar, dan Bukit Tunggal seluas 850 hektar.

Fransiskus Padma, pengurus BPAN Kalimantan Barat menyatakan kawasan wilayah adat selalu dijaga dan dilindungi oleh Masyarakat Adat Dayak Benua Kualan Hilir, namun kini telah dirampas oleh Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) PT Mayawana Persada. Akibatnya, Masyarakat Adat terancam kehilangan hak atas tanah dan sumber daya alam di Tanah Colap Torun Pusaka yang telah mereka jaga dan lindungi sejak dulu.

“Saat ini, Masyarakat Adat Kualan Hilir berada dalam tekanan hebat, seiring dengan meningkatnya penetrasi kepentingan kapital dalam bungkus berbagai macam proyek atas nama investasi yang dijalankan oleh PT. Mayawana Persada,” ungkap Fransiskus Padma.

BPAN Kalimantan Barat meminta kepada PT. Mayawana Persada agar memperhatikan kesepakatan yang telah dibuat masyarakat melalui Lembaga Pemangku Adat Benua Kualan Hilir. Selain itu, PT Mayawana Persada juga harus menghargai segala bentuk kearifan lokal Masyarakat Adat Kualan Hilir dan dengan segera menghentikan segala bentuk kegiatan proyek di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka.

“Stop semua kegiatan PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Kita minta mereka segera angkat kaki dari tanah leluhur,” tegasnya.

Padma menjelaskan bahwa sebelumnya, sudah pernah dilaksanakan penyelesaian perkara sengketa lahan dengan acara adat di gedung Serbaguna Gensaok pada tanggal 11 Mei 2020. Acara adat tersebut dihadiri pejabat Kepala Desa Kualan Hilir, Dewan Adat Dayak Simpang Hulu, dan Perwakilan Petinggi Adat dan Manajemen PT. Mayawana Persada. Acara tersebut menghasilkan kesepakatan antara Masyarakat Adat dengan PT. Mayawana Persada.

“Hasil kesepakatannya, lahan dikembalikan kepada Masyarakat Adat,” ujar Padma.

Dikatakannya, masyarakat juga sudah pernah mengirimkan surat pemberitahuan kepada pihak perusahaan dengan bunyi mereka menolak dan tidak menerima kehadiran PT Mayawana Persada di Tonah Colap Torun Pusaka. Namun, perjanjian dan surat pemberitahuan tersebut tidak diindahkan oleh PT. Mayawana Persada. “Mereka tetap merampas wilayah adat kami,” sambungnya.

Menurut Padma, tindakan PT. Mayawana Persada telah melewati batas. Wilayah adat yang telah mereka lindungi dan jaga sejak lama, justru dirampas oleh perusahaan tersebut. “BPAN mengecam segala bentuk aktivitas perampasan wilayah adat,” ujarnya.

Hal senada disampaikan Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Barat, Dominikus Uyub bahwa masuknya perusahaan PT Mayawana Persada ke kawasan Tonah Colap Torun Pusaka menjadi malapetaka bagi komunitas Masyarakat Adat Dayak Kualan Hilir.

Dikatakannya, perusahaan PT Mayawana Persada secara sepihak menguasai dan menghancurkan wilayah adat di kawasan Tonah Colap Torun Pusaka yang berakibat muncul konflik. Padahal, selama ini kawasan tersebut dijaga oleh Masyarakat Adat secara turun temurun. “Kawasan wilayah adat tidak boleh diganggu atau dirusak untuk kepentingan industri apapun,” ujarnya.

Dominikus mengatakan rusaknya wilayah adat di sekitar kawasan Tonah Colap Torun Pusaka atas ekspansi PT Mayawana Persada menimbulkan persoalan sosial baru dan rusaknya ekologi, serta menghancurkan atau menghilangkan entitas Masyarakat Adat atas wilayah adat.

Untuk itu, katanya, pemerintah harus menindak tegas PT Mayawana Persada yaitu dengan mencabut izinnya karena diduga telah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Wilayah Adat Penyangga Kehidupan

Wilayah adat sebagai penyangga kehidupan, memiliki fungsi yang sangat besar dalam menentukan keberlanjutan makhluk hidup yang ada di bumi, sehingga kelestariannya harus selalu di jaga dalam setiap perkembangan zaman. Namun faktanya saat ini, upaya-upaya dalam menjaga kelestarian wilayah adat telah terhalangi oleh aktivitas ekspansi industri ekstraktif seperti yang dilakukan PT Mayawana Persada.

“Mereka telah secara nyata mengeksploitasi wilayah adat dan segala sumber daya alam yang terdapat di dalamnya, dengan dalil untuk pembangunan,” tuturnya.

Menurutnya, semakin masifnya pengambil alihan secara paksa, penghancuran serta kapitalisasi wilayah adat bertolak belakang dengan spirit yang diperjuangkan oleh dunia Internasional terkait aksi kolektif bagi setiap negara untuk menekan laju degradasi dan deforestasi hutan. Hal itu sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan ekologis dalam menghadapi perubahan iklim yang saat ini telah menjadi bencana Internasional.

Oleh karena itu, kata Dominikus, Indonesia sebagai salah satu negara yang turut menyepakati, baik itu resolusi, konvensi serta deklarasi yang berkaitan dengan isu perubahan iklim, memiliki tanggung jawab untuk mengawasi dan mengevaluasi investasi yang ada di dalam negeri, terkhususnya pengusahaan di sektor kehutanan atau lingkungan hidup.

***

Penulis adalah Jurnalis Masyarakat Adat di Kalimantan Barat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *