Sembilan Maret 2020, merupakan hari yang bersejarah bagi masyarakat adat, terutama para peladang tradisional. Pasalnya 6 orang peladang tradisional yang ditetapkan sebagai terdakwa karhutla di Kabupaten Sintang dinyatakan bebas secara hukum, berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Sintang.

Ketua Pengurus Daerah AMAN Sintang , Antonios Antong memberikan tanggapannya terhadap putusan tersebut:  “Saya menyambut baik hasil putusan pengadilan negri Sintang dan aksi yang dilakukan masyarakat. Aksi ini merupakan gerakan murni dari masyarakat peladang. Moment yang sangat penting karena ini kasus pertama di Kabupaten Sintang, dimana negara mengkriminalisasi masyarakat peladang”.

Atong juga mengatakan jika beuma (berdalang) merupakan kearifan lokal yang sudah ada sejak dahulu, tujuannya adalah untiuk memenuhi kebutuhan hidup, dan sejauh ini negara tidak pernah hadir untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup masyarakat peladang.

Oleh sebab itu, perjuangan tidak cukup hanya dilakukan tanggal 9 maret 2020 saja, tetapi akan terus berlanjut pada kasus selanjutnya. Terdakwa di Sintag dan Bengkayang sudah di nyatakan bebas, namun kasus peladang di Sanggau, Melawi dan Kapuas Hulu masih membutuhkan perjuangan bersama.

Kedepannya diharapkan akan banyak wilayah hutan lindung yang menjadi wilayah adat, sehingga masyarakat adat bisa mengelola lahanya sendiri. Selama ini masalahnya adalah masyarakat adat kebanyakan hidup di kawasan konsensi, sehingga secara hukum negara masyarakat dinyatakan bersalah karena telah membakar lahan.

Selain itu wilayah adat yang belum masuk ke kawasan konsensi, harus tetap di pertahankan menjadi wilayah adat. Pada kenyataannya sangat rancu jika masyarakat memohon untuk memperjuangkan wilayah adat mereka karena masyarakat sudah hidup dan berladang dari ratusan tahun yang lalu. “Ibaratkan kita duduk diatas ikan tapah tapi makai beculit garam”, tegas Atong.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *