Direktur HuMA Dahniar Andriani menegaskan pekerjaan rumah (PR) terberat bagi semua stakeholder atau pemangku kepentingan terkait pengakuan hutan adat kepada masyarakat hukum adat adalah mengatasi rantai regulasi saling tumpang tindih.
Hal ini menyusul penetapan 707.000 hektare hutan adat bagi masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Pusat (Pempus).
Pidato Presiden Republik Indonesia (RI) Joko Widodo mempertegas target hutan adat seluas 4,8 juta hektare sampai tahun 2019 mendatang.
“Rantai regulasi saling tumpah tindih dan ego sektoral merupakan PR terberat yang harus segera diselesaikan jika percepatan itu ingin dilakukan,” ungkapnya saat conference press Semiloka Percepatan Pengakuan Hutan Adat Kalbar di Hotel Golden Tulip, Jalan Teuku Umar Pontianak, Selasa (10/10/2017).
Wilayah adat milik masyarakat adat selayaknya memang harus dilindungi keberadaannya. Ia tidak menampik desa-desa banyak berada di kawasan hutan. Di daerah pinggiran, masyarakat adat telah bermukim sejak lama.
“Janji membangun pinggiran harus segera direalisasikan karena daerah pinggiran banyak masyarakat adat,” jelasnya.
Namun diakui Dahniar, angka yang ditetapkan pemerintah masih bersifat imajiner hingga tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dahniar menerangkan perlu pengecekan fakta di lapangan terkait rantai birokrasi regulasi yang tidak membuka ruang pengakuan hutan adat.
“Inisiatif diberikan dengan memulai sejumah peraturan tingkat bawah seperti Peraturan Desa (Perdes). Tapi, itu secara hukum tidak diakui karena ketika bicara hutan adat,” katanya.
Subyek hukumnya harus ditetapkan dalam Peraturan Daerah (Perda) ataupun produk hukum daerah lainnya seperti Keputusan Kepala Daerah.
“Keputusan Kepala Daerah itu juga tidak ujug-ujug muncul. Itu harus melewati sebuah proses tim sendiri yang harus diterbitkan lagi Surat Keputusan (SK)-nya. Ini PR berat yang harus diselesaikan bersama,” tukasnya.