Ketua HAK Matheus Pilin Belawing memandang, percepatan pengakuan hutan adat kepada masyarakat hukum adat adalah kebutuhan yang sangat mendesak.
“Satu karena ada konflik di wilayah hutan adat, konflik yang terjadi dengan para pihak. Yang kedua, daya lingkungan sekarang sudah sangat turun drastis dengan adanya kegiatan-kegiatan investasi yang berada di wilayah-wilayah masyarakat adat. Dan yang ketiga, keragaman hayati dan sumber-sumber ekonomi rakyat khususnya masyarakat adat di mana mereka hidup dari turun temurun, ini perlahan-lahan tapi pasti juga mengalami penurunan,” ungkapnya.
Maka dari itu, mau tidak mau opsinya adalah pengakuan legal formal terhadap keberadaan masyarakat hukum adat itu sendiri.
Sampai dengan tahun ini, kata dia, upaya pemetaan partisipatif sebagai modal awal dalam pengakuan hutan adat bersama CSO dan warga Kalbar, HAK telah berhasil memfasilitasi 1,6 juta hektare wilayah masyarakat adat.
“Yang di dalamnya ada hutan adat. Di 411 kampung, tersebar di sembilan kabupeten Provinsi Kalimantan Barat,” sebutnya. Bicara subjek hukum, lanjutnya, ada 151 subsuku Dayak, 168 bahasa yang digunakan masyarakat adat di Kalbar yang dapat dilihat relasinya dengan peta partisipatif yang telah difasilitasi HAK.
“Dalam upaya mendukung itu juga kita memiliki datahun sosial yang menjelaskan tentang sejarah asal-usul kemudian kelembagaan lokal yang dipersyaratkan proses oenetapan, pengakuan tenang keberadaan masyarakat adat,” jelasnya. Ia menuturkan, pentingnya pemetaan ini tidak lain sebagai bagian percepatan pengakuan hutan adat kepada masyarakat hukum adat.