Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) Dahniar Andriani mengatakan, hutan ada menjadi salah satu penanda di mana sebenarnya janji pemerintah untuk membangun dari daerah pinggiran.
“Karena di sanalah sebenarnya hutan-hutan itu banyak di kawasan perdesaan,” ucapnya.
Secara nasional, hingga saat ini seluas 8.795,34 hektare hutan adat yang telah diakui oleh pemerintah. Sedangkan yang masih dalam status pencadangan pengakuan hutan adat di Sumatera Utara, seluas 5.172 hektare.
Diungkapkannya, jika janji 12,7 sebagai salah satu tanda membangun dari pinggiran, Andriani menegaskan, maka itu perlu segera direalisasikan.
“Namun hingga tahun ketiga pemerintahan ini, angka 12,7 itu masih menjadi angka imajiner. Karena tidak ada kejelasan berapa jumlah jumlah yang sudah ditetapkan. Kalau pidato presiden itu kemarin kan hanya 707.000 hektare, tapi kita harus mengecek fakta di lapangan. Karena rantai birokrasi regulasi sendiri itukan tidak membuka ruang untuk mempercepat,” ungkapnya.
“Inisiatif diberikan untuk misalnya memulai dengan sejumlah peraturan tingkat bawah seperti Perdes, itu secara hukum tidak dilakukan. Karena ketika bicara hutan adat, subjek hukumnya harus ditetapkan lewat Perda ataupun produk hukum daerah lainnya,” imbuhnya.
Hemat dia, ke depan rantai regulasi yang saling tumpang tindih dan termasuk ego sektoral, merupakan PR terberat yang harus diselesaikan jika percepatan itu ingin dilakukan.
“Dan juga memastikan bahwa benar-benar wilayah adat ini masyarakat hukum adat yang memang harus dilindungi keberadaannya, sehingga data yang valid itu penting,” pungkasnya