mengatakan ada empat jalur yang dapat ditempuh dalam melakukan pengakuan hukum masyarakat adat atas wilayah/hutan/tanah adat.
Jalur pertama melalui UU Kehutanan yang diimplementasikan dalam Perda. Skema Penetapan Hutan Adat Berdasarkan Permen LHK No.32/2015
Tentang Hutan Hak.
“Alurnya pembentukan produk hukum daerah. Permohonan Penetapan Hutan Adat. Verifikasi dan Validasi Dirjen. Penetapan Hutan Adat oleh Menteri LHK dan Integrasi dalam RT RW,” katanya dalam kegiatan Konsolidasi Inisiator dan Mitra Strategis di Hotel Orchardz Pontianak, Jalan Perdana, Rabu (7/6/2017).
Jalur kedua melalui UU nomor 6 tahun 2017 tentang Desa.
Prosesnya Pemda bersama dengan lembaga adat dan lembaga sejenis melakukan identifikasi dan kajian terhadap desa yang ada untuk ditetapkan menjadi desa adat.
Tahap berikutnya bupati/wali kota menetapkan desa adat yang telah memenuhi syarat dan dimasukkan ke dalam Ranperda.
Kemudian Ranperda yang telah disetujui bersama dalam rapat paripurna DPRD kabupaten kota disampaikan kepada gubernur untuk mendapatkan nomor registrasi dan kepada Mendagri untuk mendapatkan kode desa.
Tahap keempat Ranperda yang telah mendapatkan nomor registrasi dan kode desa ditetapkan menjadi peraturan daerah.
“Tantangan dalam menggunakan UU desa yakni regulasi yang bertingkat dan bentuk desa yang tak bisa menjawab keberagaman bentuk/unit masyarakat adat,” ungkapnya.
Jalur ketiga melalui Permendagri 52 tahun 2014.
Tahap pertama dengan membentuk panitia MA kabupaten/kota oleh bupati/wali kota.
Kemudian bupati melalui camat melakukan identifikasi dengan melibatkan MA atau kelompok masyarakat.
Tahap ketiga verifikasi validasi dan pengumuman selama satu bulan.
Keempat melakukan penyelesaian sengketa bila ada mengenai keberadaan MA terhadap hasil verifikasi validasi kepada PMA sebanyak satu kali dan keberatan terhadap keputusan bupati di PTUN.
“Kelima penetapan melalui keputusan bupati atau keputusan bersama bupati dan keenam laporan kepada gubernur mendagri melalui Dirjen PMD,” jelasnya.
Jalur keempat melalui Permen ATR Nomor 10 tahun 2016 tentang hak komunal.
Proses advokasi dimulai dari pengajuan permohonan kepada bupati/wali kota oleh masyarakat adat atau masyarakat.
Bupati/wali kota atau gubernur membentuk Tim IP4T. Tim ini menyampaikan hasil analisis mengenai keberadaan MA dan tanahnya, MA yang yang berada dalam kawasan tertentu, masyarakat yang berada dalam kawasan tertentu.
Dalam hal tanah yang dimohonkan berada dalam kawasan hutan, tim IP4T menyampaikan hasil analisis kepada Dirjen Planologi KLH.
Dalam hal tanah yang dimohonkan dalam HGU, tim IP4T menyampaikan hasil analisis kepada pemegang hak dan menembuskan kepada menteri.
Jika tanah yang dimohonkan berada dalam sengketa, maka tim melakukan musyawarah dengan para pihak untuk menyelesaikan sengketa atas tanah.
Terakhir bupati/wali kota atau gubernur menetapkan keberadaan masyarakat adat dan tanahnya serta menyampaikan permohonan kepada BPN untuk ditetapkan dan didaftarkan sebagai hak komunal.
“BPN kabupaten kota atau provinsi menetapkan dan mendaftarkan hak-hak komunal atas tanah milik MA atau masyarakat,” papar Arman.
Jika mengikuti logika masing-masing route di atas maka persoalan sektorlisme yang telah terbukti menjadi salah satu penyebab dari tumpang tindih pengaturan tentang masyarakat adat masih terus berlanjut.
Bahkan penggunaan rute-rute tersebut secara sendiri-sendiri hanya memindahkan sektoralisme dan tumpang tindih pengaturan di tingkat pusat ke daerah.
Ada lebih dari 1 bentuk hukum terkait masyarakat adat, yaitu ada Perda dan ada Keputusan Bupati/Walikota/Gubernur.
“Karena itu perlu membentuk Perda yang mengakui dan melindungi keseluruhan aspek yang ada pada masyarakat adat sebagai satu subjek hukum (masyarakat adat, tanah dan wilayah adat, hukum adat dan peradilan adat, lembaga adat, dan kearifan Lokal, dan lain-lain),” pungkasnya.